Istilah "apatride" berasal dari bahasa Prancis yang secara harfiah berarti "tanpa ayah" atau, dalam konteks hukum internasional dan kenegaraan, merujuk pada kondisi di mana seseorang secara hukum tidak diakui sebagai warga negara oleh negara manapun. Individu yang berstatus apatride seringkali disebut sebagai "stateless persons" atau orang tanpa kewarganegaraan. Ini adalah masalah kemanusiaan dan hukum yang kompleks, karena status kewarganegaraan adalah hak fundamental yang menentukan akses seseorang terhadap hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial dasar.
Kewarganegaraan adalah ikatan hukum yang menghubungkan seseorang dengan suatu negara, memberikan hak dan kewajiban timbal balik. Ketika ikatan ini hilang atau tidak pernah terbentuk, seseorang kehilangan perlindungan hukum dan seringkali terperangkap dalam limbo administratif. Mereka kesulitan untuk bepergian, bekerja secara legal, mendapatkan pendidikan formal, mengakses layanan kesehatan, bahkan mendaftarkan kelahiran anak mereka. Tanpa dokumen identitas yang diakui, keberadaan mereka secara efektif menjadi tidak terlihat oleh sistem negara.
Fenomena apatride dapat muncul karena berbagai alasan yang saling terkait, melibatkan hukum nasional, konflik, dan diskriminasi. Salah satu penyebab paling umum adalah konflik dalam hukum kewarganegaraan antar negara. Misalnya, jika negara A menetapkan kewarganegaraan berdasarkan jus sanguinis (hak darah) dan negara B menetapkan berdasarkan jus soli (hak tanah), anak yang lahir di perbatasan atau di wilayah yang hukumnya ambigu dapat gagal memenuhi syarat di kedua negara.
Penyebab signifikan lainnya adalah diskriminasi berbasis etnis, agama, atau gender dalam undang-undang kewarganegaraan. Beberapa negara secara historis atau saat ini memiliki undang-undang yang secara eksplisit menolak pemberian kewarganegaraan kepada kelompok minoritas tertentu, atau memberikan hak yang lebih rendah kepada perempuan untuk meneruskan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka. Perubahan batas negara atau pembubaran negara (seperti Uni Soviet atau Yugoslavia) juga sering meninggalkan populasi besar tanpa kejelasan status hukum yang cepat.
Selain itu, prosedur administratif yang rumit atau kegagalan pendaftaran kelahiran yang disebabkan oleh kemiskinan, pengungsian paksa, atau kurangnya pengetahuan hukum juga berkontribusi terhadap peningkatan jumlah apatride. Seseorang mungkin lahir dari orang tua tanpa kewarganegaraan, yang secara otomatis menjadikan mereka apatride, menciptakan siklus kemiskinan dan keterasingan antar generasi.
Dampak dari status apatride sangat merusak pada tingkat individu maupun sosial. Secara kemanusiaan, orang tanpa kewarganegaraan menghadapi hambatan sistemik yang menghalangi integrasi sosial. Mereka seringkali terpaksa hidup di pinggiran masyarakat, rentan terhadap eksploitasi tenaga kerja, perdagangan manusia, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya karena kurangnya perlindungan hukum.
Secara ekonomi, apatride membatasi prospek kerja yang layak, memaksa mereka untuk bekerja di sektor informal yang tidak aman atau ilegal. Dalam hal pendidikan dan kesehatan, akses mereka sangat terbatas, yang pada gilirannya melanggengkan kemiskinan antargenerasi. Negara-negara yang menampung populasi apatride seringkali juga menghadapi tantangan dalam menyediakan layanan publik bagi populasi yang secara resmi 'tidak ada' dalam catatan kependudukan mereka.
Komunitas internasional telah berupaya keras untuk mengatasi krisis apatride, terutama melalui instrumen hukum internasional. Konvensi PBB tentang Pengurangan Status Tanpa Kewarganegaraan tahun 1961 dan Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan tahun 1954 adalah kerangka kerja utama yang bertujuan untuk mencegah munculnya apatride dan melindungi hak-hak mereka yang sudah mengalaminya.
Pada tahun 2014, Badan Pengungsi PBB (UNHCR) meluncurkan kampanye global "#IBelieveInZero" dengan tujuan mengakhiri apatride pada tahun 2024, menetapkan dua tujuan utama: mencegah munculnya kasus baru apatride melalui reformasi hukum kewarganegaraan yang inklusif, dan menyelesaikan kasus-kasus yang sudah ada dengan memfasilitasi naturalisasi atau konfirmasi kewarganegaraan. Reformasi hukum nasional, seperti pengakuan kesetaraan gender dalam hukum kewarganegaraan, adalah langkah penting yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk memastikan bahwa setiap kelahiran di wilayah mereka menghasilkan kewarganegaraan yang jelas.
Mengatasi masalah apatride bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga langkah penting dalam menjaga stabilitas sosial dan menjamin bahwa prinsip hak asasi manusia universal diterapkan secara setara bagi setiap individu di planet ini.