Di banyak budaya di Indonesia, kelahiran seorang anak tidak hanya dirayakan dengan suka cita, tetapi juga disertai dengan serangkaian ritual yang kaya makna. Salah satu tradisi yang paling mendalam dan masih dilestarikan adalah prosesi penguburan ari-ari, atau plasenta bayi. Ari-ari, yang selama masa kehamilan berfungsi sebagai "jembatan kehidupan" antara ibu dan janin, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari diri bayi dan memiliki nilai spiritual yang tinggi.
Proses ini jauh lebih dari sekadar pembuangan sisa persalinan. Bagi masyarakat tradisional, ari-ari adalah 'saudara kembar' si anak, yang harus diperlakukan dengan hormat dan dikubur di tempat yang khusus. Keputusan mengenai lokasi penguburan ini seringkali mengandung makna filosofis yang mendalam, terkait dengan harapan orang tua terhadap masa depan anak mereka.
Mengapa ari-ari harus dikubur, bukan dibuang biasa? Keyakinan utama yang melandasi tradisi ini adalah bahwa ari-ari menyimpan "energi" atau "jejak" kehidupan anak selama di dalam rahim. Jika ari-ari dibiarkan sembarangan atau tidak dikubur dengan layak, ada kekhawatiran bahwa roh atau energi tersebut dapat mengganggu ketenangan bayi, menyebabkan rewel, atau bahkan menarik energi negatif.
Penguburan ari-ari adalah ritual pemutusan ikatan fisik yang sakral. Dengan menguburnya di tanah, orang tua seolah-olah "menanamkan" fondasi spiritual bagi anak mereka. Tanah diyakini sebagai sumber kehidupan, dan dengan mengubur ari-ari di sana, diharapkan anak tersebut akan selalu memiliki ikatan kuat dengan alam dan lingkungannya, serta mendapatkan keberkahan dari bumi.
Lokasi penguburan ari-ari sangat bervariasi tergantung adat daerah. Di banyak tempat, ari-ari dikubur di halaman rumah, biasanya di bawah pohon tertentu (seperti pohon mangga atau beringin) yang dianggap keramat atau simbol kemakmuran. Tujuannya adalah agar anak tersebut selalu ingat kampung halaman dan merasa memiliki "akar" yang kuat di sana. Beberapa keluarga di Jawa bahkan memilih menguburkannya di posisi yang sejajar dengan letak tempat tidur bayi saat dilahirkan.
Prosesi penguburan biasanya dilakukan oleh ayah atau sesepuh keluarga setelah ari-ari dibersihkan (dicucikan) terlebih dahulu. Pembersihan ini seringkali dilakukan dengan air kembang tujuh rupa atau air biasa yang didoakan. Ari-ari kemudian dibungkus dengan kain putih bersih atau dimasukkan ke dalam kendi/wadah khusus sebelum dikubur sedalam kurang lebih satu meter.
Setelah dikubur, area tersebut seringkali ditandai dengan batu nisan kecil atau ditanami tanaman tertentu. Ritual penutup bisa berupa doa bersama, selawat, atau pembacaan mantra pendek yang bertujuan memohon keselamatan dan rezeki bagi sang bayi.
Meskipun esensinya sama—menghormati bagian tubuh yang menopang kehidupan—pelaksanaan tradisi ini berbeda di tiap suku:
Di era modern, beberapa keluarga urban memilih untuk mengikuti ritual ini dengan lebih sederhana atau bahkan menyimpannya dalam wadah yang disegel di dalam rumah. Namun, mayoritas yang masih memegang teguh adat istiadat akan tetap melakukan ritual penguburan ini, sebagai wujud nyata cinta orang tua yang tak hanya merawat raga, tetapi juga menjaga aspek spiritual dari keturunan mereka. Ari-ari yang terkubur menjadi pengingat abadi akan permulaan kehidupan dan ikatan tak terputus antara anak dan rumah tempat ia dilahirkan.