Ilustrasi format kaset audio klasik.
Di tengah dominasi musik digital yang serba instan dan tak berwujud, fenomena Kasetma hadir sebagai pengingat manis tentang bagaimana kita pernah menikmati musik. Istilah ini merujuk pada format kaset audio, yang meskipun kini sering dianggap usang, menyimpan kenangan mendalam bagi banyak generasi. Kaset bukan sekadar media penyimpanan; ia adalah artefak budaya yang membentuk cara kita mendengarkan, berbagi, dan bahkan merawat musik favorit kita.
Berbeda dengan MP3 atau streaming yang hanya berupa data, kaset menawarkan pengalaman multisensori. Bau plastik baru, tekstur kotak pelindung yang khas, dan momen krusial memasukkan pita ke dalam pemutarāsemua ini adalah bagian integral dari ritual mendengarkan musik pada masa kejayaannya. Bagi para kolektor atau penggemar genre tertentu, memiliki versi fisik dari sebuah album dalam format Kasetma adalah sebuah pernyataan. Ini menandakan komitmen terhadap karya seni tersebut.
Proses merekam mixtape adalah salah satu praktik paling personal yang pernah ada. Menggunakan dua pemutar kaset, seseorang harus menekan 'record' dan 'play' secara bersamaan, berharap transisi lagu berjalan mulus. Mixtape adalah surat cinta dalam bentuk audio, dikurasi dengan penuh kesabaran untuk seseorang yang spesial. Keunikan format ini terletak pada sifatnya yang terbatas dan membutuhkan intervensi fisik manusia dalam pembuatannya.
Tentu saja, kaset memiliki keterbatasan yang kini kita anggap merepotkan. Pita yang kusut, suara 'waktu memutar' yang khas, dan kebutuhan untuk membalik kaset setiap 30 atau 45 menit. Namun, justru keterbatasan inilah yang menciptakan keindahan yang dicari kembali. Ketika pita macet, kita belajar menghargai keutuhan sebuah lagu. Kita tidak bisa melompat langsung ke trek ke-15; kita harus melalui trek 1 hingga 14 terlebih dahulu, memaksa pendengar untuk menikmati alur yang telah disusun oleh artis.
Dalam komunitas musik independen, Kasetma mengalami kebangkitan yang menarik. Band-band baru memilih format ini sebagai cara untuk merilis karya mereka dengan biaya rendah namun dengan nilai seni yang tinggi. Mereka menarik penggemar yang mencari sesuatu yang otentik dan berbeda dari mainstream. Ini adalah perlawanan halus terhadap homogenitas digital.
Lebih dari sekadar medium, kaset audio merupakan kapsul waktu. Ketika sebuah kaset ditemukan kembali bertahun-tahun kemudian, suaranya mungkin sedikit terdegradasi, tetapi emosi yang terikat padanya tetap utuh. Genre seperti post-punk, musik lo-fi, dan noise sering kali menemukan rumah terbaiknya dalam medium yang memiliki distorsi alami seperti kaset. Kualitas suara yang sedikit 'hangat' dan tidak sempurna justru menambah karakter pada rekaman tersebut.
Mencari pemutar kaset yang berfungsi baik, membersihkan kepala pemutar, dan menjaga koleksi dari panas adalah bentuk perawatan yang hampir ritualistik. Ini mengajarkan kita nilai dari barang-barang yang kita miliki. Format Kasetma memaksa kita untuk lebih menghargai musik sebagai objek fisik yang memerlukan perhatian dan pemeliharaan, sebuah pelajaran yang jarang kita dapatkan ketika lagu bisa hilang dalam satu klik tombol hapus di perangkat digital.
Pada akhirnya, meskipun streaming mendominasi pasar, daya tarik kaset tetap kuat. Ia mewakili sebuah era di mana mendengarkan musik adalah tindakan yang lebih intim dan disengaja. Kolektor akan terus mencari rekaman langka, dan para musisi akan terus merilis karya di format kecil ini, memastikan bahwa warisan Kasetma akan terus bergema di telinga generasi yang menghargai sejarah dan sentuhan manusia dalam seni.