Bemo, singkatan dari 'Bendi Ekonomis', adalah moda transportasi ikonik yang telah lama menjadi urat nadi pergerakan di banyak daerah di Indonesia, terutama di kawasan perkotaan kecil dan pedesaan. Namun, di balik penampilannya yang khas dan seringkali penuh warna, muncul pertanyaan mendasar: bemo menggunakan tenaga apa untuk bergerak? Jawabannya, secara historis dan mayoritas hingga saat ini, terletak pada mesin pembakaran internal yang efisien dan tangguh.
Evolusi Sumber Tenaga Bemo
Pada awalnya, beberapa konsep transportasi roda tiga yang menginspirasi bemo mengandalkan tenaga manusia atau hewan. Namun, seiring kebutuhan mobilitas yang meningkat pesat, transformasi menjadi kendaraan bermotor menjadi suatu keniscayaan. Bemo modern hampir secara universal ditenagai oleh mesin bensin atau diesel. Mesin ini, yang umumnya berkapasitas relatif kecil agar hemat bahan bakar, menjadi jantung yang memutar roda.
Penggunaan tenaga mesin konvensional memberikan bemo keunggulan signifikan dibandingkan becak kayuh, yaitu jangkauan yang lebih jauh dan kemampuan membawa beban yang lebih berat serta penumpang dalam jumlah yang lebih banyak. Mesin ini biasanya terletak di bagian belakang atau tengah kendaraan, dihubungkan melalui sistem transmisi sederhana ke as roda belakang. Perawatan yang relatif mudah dan ketersediaan suku cadang menjadi faktor utama mengapa teknologi tenaga ini bertahan lama dalam armada bemo.
Efisiensi dan Tantangan Tenaga Konvensional
Salah satu kekuatan utama bemo terletak pada efisiensi operasionalnya di rute-rute pendek. Karena sering beroperasi dengan kecepatan rendah dan berhenti-berhenti, mesin yang digunakan dirancang untuk torsi yang baik di putaran rendah. Bahan bakar yang digunakan—umumnya bensin dengan oktan rendah atau solar—membuat biaya operasional harian menjadi terjangkau bagi pengemudi (operator).
Namun, penggunaan tenaga berbasis bahan bakar fosil juga membawa tantangan lingkungan yang signifikan. Emisi gas buang dari bemo, apalagi yang usianya sudah tua, seringkali kurang terkontrol, menyumbang polusi udara di area padat penduduk. Suara bising yang dihasilkan mesin juga menjadi isu kebisingan perkotaan. Pemerintah daerah seringkali menghadapi dilema: mempertahankan bemo karena fungsinya sebagai penyedia lapangan kerja dan transportasi murah, namun di sisi lain harus mengatasi dampak lingkungannya.
Masa Depan: Menuju Tenaga yang Lebih Hijau
Dalam konteks transisi energi global, wacana mengenai masa depan armada bemo mulai bergeser. Pertanyaan mengenai "bemo menggunakan tenaga" kini membuka opsi baru, yaitu elektrifikasi. Beberapa inisiatif telah dicoba di berbagai kota untuk mengganti mesin konvensional dengan motor listrik yang ditenagai baterai.
Bemo listrik menawarkan potensi pengurangan emisi nol di titik penggunaan, mengurangi polusi suara secara drastis, dan secara teori, biaya perawatan jangka panjang yang lebih rendah karena motor listrik memiliki komponen bergerak yang jauh lebih sedikit. Kendalanya tentu saja terletak pada investasi awal yang tinggi untuk penggantian armada, pembangunan infrastruktur pengisian daya, serta jaminan daya tahan baterai untuk menempuh rute harian yang panjang.
Jika elektrifikasi berhasil diimplementasikan secara masif, bemo akan bertransformasi dari kendaraan yang mengandalkan tenaga hasil pembakaran menjadi kendaraan yang memanfaatkan energi terbarukan yang diolah melalui listrik. Ini akan memastikan bahwa bemo tetap menjadi bagian integral dari sistem transportasi lokal, namun dengan jejak ekologis yang jauh lebih ringan. Adaptasi terhadap teknologi tenaga baru ini sangat krusial untuk kelangsungan hidup ikon transportasi roda tiga ini di era modern.