Surah Az-Zumar, yang berarti "Golongan-golongan," adalah salah satu surah Makkiyah yang kaya akan pesan tauhid, hari akhir, dan motivasi untuk kembali kepada Allah SWT. Di tengah ayat-ayat yang membahas tentang pemisahan manusia menjadi golongan-golongan (yang bertakwa dan yang durhaka), terdapat ayat ke-33 yang memiliki bobot spiritual dan penegasan hukum yang luar biasa, yaitu Azzumar Ayat 33.
Ayat ini secara spesifik menyoroti bagaimana Allah membalas amal perbuatan manusia, baik dari sisi kebaikan maupun keburukan, dengan keadilan yang sempurna. Ayat ini berfungsi sebagai pengingat tegas bahwa tidak ada satu pun perbuatan, sekecil apapun, yang luput dari pencatatan dan perhitungan.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau mendustakan kebenaran ketika (kebenaran itu) datang kepadanya? Bukankah di dalam Jahannam itu tempat bagi orang-orang yang kafir?"
Fokus utama dari Azzumar ayat 33 adalah pertanyaan retoris yang menyentak: "Siapakah yang lebih zalim?". Dalam konteks ayat sebelumnya (Ayat 32), Allah memuji mereka yang jujur dan taat, serta menjanjikan pahala bagi mereka yang berbuat baik. Namun, ayat 33 membalikkan fokus kepada mereka yang memilih jalan sebaliknya.
Kezaliman tertinggi didefinisikan di sini dalam dua bentuk utama. Pertama, mengada-adakan dusta atas nama Allah (syirik atau membuat syariat palsu). Ini adalah bentuk penyesatan terbesar karena merusak fondasi hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Kedua, dan yang sangat relevan dalam konteks dakwah kenabian, adalah mendustakan kebenaran (Al-Haqq) ketika ia telah disajikan dengan jelas.
Mendustakan kebenaran, meskipun itu datang langsung dari sumber yang otentik (wahyu), menunjukkan kesombongan hati dan penolakan total terhadap petunjuk Ilahi. Ini adalah tindakan yang melampaui batas kezaliman, sebab pelakunya menolak keselamatan yang sudah terbentang di depan mata.
Setelah mendefinisikan puncak kezaliman tersebut, ayat ini ditutup dengan penegasan yang keras: "Bukankah di dalam Jahannam itu tempat bagi orang-orang yang kafir?" Ini bukan sekadar ancaman, melainkan kepastian hukum ilahi bagi mereka yang secara sadar memilih untuk menolak petunjuk. Kata "kafir" di sini merujuk pada penutup hati dan pendustaan yang konsisten terhadap ajaran Allah.
Memahami Azzumar 33 memberikan perspektif penting tentang prioritas dalam kehidupan. Jika menolak kebenaran adalah perbuatan yang paling zalim, maka menerima dan membenarkan kebenaran (tauhid) adalah bentuk keadilan tertinggi yang dapat dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya.
Di era informasi saat ini, di mana berbagai ideologi dan klaim kebenaran saling bersaing, ayat ini menjadi filter spiritual yang sangat kuat. Godaan untuk "mengarang cerita" atas nama agama, atau dengan mudah menolak fakta-fakta syariat yang sudah mapan demi mengikuti tren sesaat, adalah manifestasi modern dari kezaliman yang dikutuk dalam ayat ini.
Setiap Muslim diingatkan untuk senantiasa meneliti sumber kebenaran mereka. Ketika Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih disajikan, tidak ada ruang untuk menunda atau mendustakannya. Sikap yang benar adalah tunduk dan membenarkan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh golongan yang berhak mendapatkan surga dalam ayat-ayat sebelumnya.
Dengan demikian, Azzumar ayat 33 berfungsi sebagai batas pemisah yang tegas, memotivasi umat Islam untuk bersikap jujur dalam beriman, menjauhi kedustaan, dan menjadikan penerimaan terhadap kebenaran sebagai pondasi utama perjalanan spiritual mereka menuju keridhaan Allah SWT.