Dalam kehidupan sosial dan spiritual, konsep rezeki seringkali dipahami sebagai aliran karunia dan keberuntungan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Namun, seringkali kita melihat fenomena di mana satu individu atau kelompok berupaya keras untuk menghalangi, memutus, atau bahkan 'menutup' aliran rezeki orang lain. Tindakan ini, sekecil apapun dampaknya, membawa implikasi moral dan spiritual yang sangat serius, yang dalam banyak keyakinan dikenal sebagai pintu menuju azab.
Rezeki bukanlah sekadar uang atau materi; ia mencakup kesempatan, kesehatan, kemudahan, dan hubungan baik. Ketika seseorang merasa terancam oleh kesuksesan orang lain, dorongan untuk melakukan sabotase—baik secara terang-terangan maupun terselubung—bisa muncul. Ini bisa berupa menyebarkan fitnah yang merusak reputasi profesional, menahan informasi penting, atau menggunakan posisi kekuasaan untuk menghambat promosi atau usaha saingan.
Dalam perspektif moralitas universal, tindakan ini melanggar prinsip dasar keadilan dan kemanusiaan. Hal ini menunjukkan adanya penyakit hati, yaitu iri hati dan keserakahan yang berlebihan. Daripada berusaha meningkatkan kualitas rezeki sendiri, fokus diarahkan untuk merampas atau membatasi jatah orang lain. Agama-agama mengajarkan bahwa setiap makhluk telah ditentukan rezekinya, dan berusaha mencampuri ketetapan tersebut dengan cara yang zalim adalah tindakan kesombongan.
Konsep 'azab' dalam konteks menutup rezeki orang lain bukanlah selalu pembalasan instan yang dramatis. Seringkali, azab tersebut bekerja melalui hukum sebab-akibat atau keseimbangan karma/spiritual. Ketika seseorang menanam benih penghalangan, ia tanpa sadar sedang menanam benih kerugian bagi dirinya sendiri di masa depan.
Pertama, hilangnya ketenangan batin. Seseorang yang hidupnya didedikasikan untuk mengawasi dan menghancurkan kesuksesan orang lain akan selalu dihantui rasa waspada dan tidak pernah merasa aman. Ketenangan adalah bentuk rezeki yang tak ternilai harganya.
Kedua, reputasi dan kepercayaan yang rusak. Dalam jangka panjang, lingkungan sosial atau bisnis akan mengenali pola destruktif tersebut. Orang lain akan menjauhi, takut menjadi korban berikutnya. Kehilangan kepercayaan publik adalah bentuk penutupan rezeki yang paling efektif dan sering terjadi secara alami.
Ketiga, berkurangnya keberkahan. Rezeki yang diperoleh melalui cara-cara yang menzalimi akan terasa 'hampa'. Meskipun jumlahnya besar, ia tidak membawa kebahagiaan sejati, seringkali malah mendatangkan masalah baru—seperti kesehatan menurun atau masalah keluarga—yang seolah menjadi penebusan atas dosa penghalangan tersebut.
Langkah pertama untuk menghindari azab ini adalah introspeksi mendalam. Alih-alih fokus pada apa yang dimiliki orang lain, fokuskan energi pada pengembangan diri sendiri. Alam semesta ini sangat luas; satu pintu yang terbuka untuk orang lain tidak berarti pintu itu akan tertutup untuk Anda.
Sikap yang seharusnya ditunjukkan adalah kompetisi yang sehat, bukan sabotase destruktif. Jika Anda melihat seseorang sukses, jadikan itu inspirasi, bukan alasan untuk menjatuhkannya. Berdoalah agar rezeki mereka bertambah, dan pada saat yang sama, mintalah kemudahan untuk membuka rezeki Anda sendiri. Inilah jalan yang dicontohkan oleh para tokoh kebijaksanaan: membiarkan aliran kehidupan berjalan sebagaimana mestinya, tanpa intervensi egois.
Menghargai rezeki orang lain adalah bentuk penghormatan terhadap kuasa Ilahi yang mengaturnya. Ketika kita berhenti mencoba menjadi 'penjaga gerbang' rezeki orang lain, kita membuka gerbang rezeki kita sendiri yang mungkin selama ini tertutup oleh niat buruk kita sendiri.