Ilustrasi semangat Arek
Di kancah kebudayaan dan identitas Indonesia, terdapat satu kata pendek namun sarat makna yang berasal dari Jawa Timur: "Arek". Bagi mereka yang bukan berasal dari wilayah tersebut, "Arek" mungkin terdengar seperti sapaan biasa. Namun, bagi warga Surabaya dan sekitarnya, kata ini adalah inti dari jati diri, mencerminkan semangat kepahlawanan, keberanian, dan keakraban yang sulit ditemukan di tempat lain. Secara harfiah, "arek" dalam bahasa Jawa berarti "anak" atau "keturunan". Namun, fungsi sosial dan kulturalnya telah melampaui definisi kamus tersebut.
Evolusi makna "arek" sangat terkait erat dengan sejarah perjuangan kota Surabaya. Surabaya dikenal sebagai "Kota Pahlawan" berkat perannya yang monumental dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama pada pertempuran 10 November. Dalam konteks perang dan perlawanan, istilah "arek-arek Suroboyo" (para anak muda Surabaya) menjadi simbol perlawanan gigih yang tidak kenal mundur. Semangat ini kemudian diinternalisasi ke dalam kata "arek" itu sendiri. Ketika seseorang menyebut dirinya "arek", ia tidak hanya menyatakan asal daerahnya, tetapi juga mengafirmasi sifat-sifat yang melekat pada tradisi tersebut: blak-blakan, setia kawan, pantang menyerah, dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi.
Penggunaan kata ini sangat khas dan menciptakan garis batas kultural yang halus namun kuat. Di luar Jawa Timur, terutama di Jawa Tengah atau Jawa Barat, sapaan yang lebih umum digunakan adalah "anak" atau "bocah". Ketika "arek" digunakan di luar konteksnya, ia segera menandai penutur sebagai seseorang yang memiliki akar kuat di wilayah Tapal Kuda atau daerah metropolitan Surabaya. Ini adalah bagian dari bahasa sehari-hari yang mengalir alami, baik dalam suasana formal maupun santai.
Kata "arek" adalah penanda utama dari dialek Suroboyoan (atau Bahasa Jawa Timur). Dialek ini terkenal lebih lugas, cenderung cepat, dan seringkali tidak sehalus dialek Jawa Mataraman. Keberanian dalam berbicara ini sering disamakan dengan semangat "arek" itu sendiri. Sebagai contoh, dalam percakapan, "Arek iku suro" (Anak itu berani/keras) adalah sebuah pujian yang diucapkan dengan lugas. Penggunaan partikel penegas seperti "-e" atau penekanan vokal yang terbuka menambah kekhasan intonasi yang menjadi ciri khas komunitas "arek".
Di era modern, pengaruh budaya populer membuat kata "arek" semakin meluas. Ia sering muncul dalam seni pertunjukan lokal, musik, dan bahkan *branding* produk. Fenomena ini menunjukkan bagaimana identitas lokal mampu bertahan dan beradaptasi di tengah arus globalisasi. Identitas "arek" kini tidak hanya tentang kelahiran, tetapi juga tentang pilihan sikap dan pemahaman terhadap nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu.
Salah satu pilar terkuat yang menopang makna "arek" adalah solidaritas. Istilah ini seringkali dipakai untuk membangun rasa kebersamaan antarwarga Jawa Timur, khususnya Surabaya. Jika ada "arek" yang mengalami kesulitan di rantau, akan ada "arek" lain yang secara otomatis merasa terdorong untuk membantu. Ikatan persaudaraan ini didasarkan pada pemahaman kolektif bahwa mereka membawa nama besar dari kota yang telah membuktikan ketangguhannya berkali-kali.
Bagi para perantau, mengucapkan kata "arek" saat bertemu dengan sesama dari daerah yang sama adalah sebuah kunci instan untuk membuka percakapan dan menjalin koneksi. Ini adalah kode sosial yang efektif. Bahkan, banyak komunitas diaspora Jawa Timur di kota-kota besar di Indonesia atau bahkan di luar negeri yang menamai kelompok mereka dengan menggunakan embel-embel "Arek" untuk menegaskan asal dan semangat mereka.
Pada akhirnya, kata "arek" adalah kapsul waktu budaya. Ia membawa beban sejarah, semangat revolusi, dan kehangatan sosial khas masyarakat urban Jawa Timur. Ketika kita mendengar kata ini, kita tidak hanya mendengar kata benda, melainkan merasakan sebuah panggilan untuk menghormati warisan kepahlawanan dan merayakan semangat keberanian yang terus menyala. Identitas ini tetap relevan, berfungsi sebagai pengingat bahwa di balik segala modernisasi, akar identitas harus tetap dijaga dengan bangga. Jadi, siapapun yang menyandang sebutan "arek", ia memikul tanggung jawab kultural untuk senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang diwakili oleh kata sederhana namun perkasa tersebut.
--- Artikel Selesai ---