Sampah anorganik, yaitu sampah yang tidak dapat terurai secara alami oleh proses biologis—seperti plastik, kertas berlapis, logam, dan kaca—telah menjadi momok global. Meskipun sering dianggap lebih 'bersih' karena tidak menimbulkan bau busuk seperti sampah organik, akumulasi dan penanganan yang buruk terhadap jenis sampah ini justru menciptakan konsekuensi ekologis dan kesehatan yang jauh lebih masif dan bertahan lama di lingkungan.
Dampak paling jelas dari penumpukan sampah anorganik adalah kerusakan pada tanah. Bahan seperti plastik membutuhkan waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk terurai. Selama proses ini, sampah anorganik yang terpendam menghalangi infiltrasi air dan udara ke dalam lapisan tanah. Hal ini mengurangi porositas tanah, menjadikannya keras, dan memutus siklus nutrisi alami. Ketika plastik terurai menjadi mikroplastik, partikel kecil ini meresap ke dalam tanah, mengganggu ekosistem mikroba yang penting bagi kesuburan lahan pertanian.
Laut dan sungai telah menjadi ‘tempat pembuangan akhir’ terbesar bagi sampah anorganik yang terbawa oleh angin atau sistem drainase yang buruk. Jutaan ton plastik memasuki lautan setiap tahunnya. Akibatnya, biota laut sering salah mengira sampah plastik sebagai makanan. Penyu yang menelan kantong plastik, burung laut yang terjerat jaring ikan, hingga ikan kecil yang mengonsumsi mikroplastik, semuanya mengalami gangguan pencernaan, malnutrisi, bahkan kematian.
Selain itu, plastik yang mengapung di laut menciptakan ‘pulau sampah’ yang merusak ekosistem permukaan laut. Logam dan bahan kimia berbahaya dari baterai atau elektronik yang dibuang sembarangan juga dapat larut (leaching) ke dalam air, menyebabkan keracunan massal pada organisme air.
Akibat sampah anorganik tidak hanya dirasakan oleh alam, tetapi juga berdampak langsung pada kesehatan manusia. Ketika sampah anorganik (terutama sampah elektronik/B3) dibakar secara terbuka—praktik yang masih umum dilakukan—ia melepaskan dioksin, furan, dan logam berat ke udara. Inhalasi zat-zat beracun ini dapat memicu penyakit pernapasan kronis, masalah saraf, hingga kanker.
Di sisi lain, sampah yang menumpuk di perkotaan menjadi sarang nyamuk (seperti nyamuk Aedes Aegypti yang bersarang di wadah plastik terbalik yang menampung air hujan) yang menyebabkan penyebaran penyakit demam berdarah (DBD).
Sistem pengelolaan sampah yang tidak efektif menyebabkan masyarakat sering membuang sampah anorganik ke saluran air, selokan, dan sungai. Botol plastik, styrofoam, dan kemasan lainnya menyumbat aliran alami air. Ketika terjadi hujan lebat, air tidak dapat mengalir sebagaimana mestinya, mengakibatkan genangan air yang cepat berubah menjadi banjir kota. Kerugian akibat banjir ini mencakup kerusakan properti, gangguan transportasi, dan potensi krisis sanitasi sekunder.
Sampah anorganik—khususnya yang terbuat dari mineral mentah seperti aluminium, besi, dan minyak bumi (untuk plastik)—merepresentasikan energi dan bahan baku yang telah diekstraksi dari bumi. Ketika benda-benda ini dibuang, kita kehilangan kesempatan untuk mendaur ulangnya. Proses produksi barang baru dari bahan mentah (virgin material) membutuhkan energi yang jauh lebih besar dan menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi dibandingkan mendaur ulang. Oleh karena itu, kegagalan mengelola sampah anorganik adalah bentuk pemborosan sumber daya alam yang terbatas.
Penanggulangan masalah ini harus berfokus pada pengurangan (reduce) dan penggunaan kembali (reuse) sebelum daur ulang (recycle). Edukasi publik mengenai bahaya mikroplastik dan pentingnya memisahkan sampah di sumbernya adalah kunci. Pemerintah dan industri juga perlu mendorong inovasi dalam material kemasan yang benar-benar dapat terurai atau mudah didaur ulang secara masif, sehingga dampak buruk dari sampah anorganik ini dapat kita minimalkan sebelum kerusakan menjadi ireversibel.