Transportasi bemo, atau sering hanya disebut bemo, adalah salah satu ikon tak terlupakan dari sistem angkutan umum di Indonesia, khususnya pada paruh kedua abad ke-20. Kendaraan roda tiga yang khas ini memiliki peranan vital dalam mobilitas masyarakat di kota-kota kecil maupun daerah urban sebelum didominasi oleh angkutan yang lebih modern seperti angkot (angkot kota) dan taksi. Meskipun popularitasnya kini telah banyak meredup, jejak historis bemo dalam membentuk struktur pergerakan masyarakat lokal masih sangat kuat terasa.
Bemo merupakan adaptasi dari bajaj atau tuk-tuk yang berasal dari Asia Selatan, namun kemudian dimodifikasi secara substansial agar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi jalanan di Indonesia. Secara umum, bemo memiliki konfigurasi tiga roda, dengan mesin terletak di bagian depan atau tengah, serta memiliki bak terbuka atau tertutup di bagian belakang yang dirancang untuk menampung penumpang. Desainnya yang sederhana menjadikannya kendaraan yang relatif murah untuk diproduksi dan dirawat.
Salah satu ciri paling menonjol dari bemo adalah suaranya yang khas—deru mesin dua tak yang keras—dan warnanya yang seringkali dicat sangat cerah. Setiap kota atau trayek sering kali memiliki skema warna dan ornamen yang berbeda, menjadikan bemo sebagai cerminan budaya lokal yang bergerak. Tidak jarang, penumpang duduk saling berhadapan di bangku memanjang di bagian belakang, menciptakan suasana komunal yang erat selama perjalanan.
Di masa jayanya, bemo mengisi celah penting dalam transportasi publik. Mereka berfungsi sebagai penghubung antara terminal utama (tempat bus antar kota atau kereta api berhenti) dengan kawasan pemukiman penduduk, pasar, atau pusat-pusat keramaian yang tidak terjangkau oleh rute bus besar. Bemo beroperasi dengan sistem "jalan bersama" (pool system) atau rute tetap yang pendek, memungkinkan penumpang untuk naik dan turun di mana saja di sepanjang jalur tersebut, memberikan fleksibilitas yang sangat dihargai oleh masyarakat saat itu.
Keunggulan utama bemo terletak pada kemampuannya bermanuver di gang-gang sempit. Banyak jalanan di kota-kota lama Indonesia yang tidak dirancang untuk kendaraan besar, dan di sinilah bemo menunjukkan keunggulannya. Mereka mampu menjangkau area yang sulit diakses, menjadikannya tulang punggung transportasi "last mile" sebelum istilah itu populer. Selain mengangkut manusia, bemo juga sering digunakan untuk mengangkut barang dagangan dalam jumlah kecil, menambah fungsi ekonomisnya bagi para sopir dan pedagang kecil.
Meskipun memiliki banyak keunggulan, bemo menghadapi tantangan besar seiring dengan perkembangan zaman. Isu utama yang menimpa bemo adalah masalah polusi udara dan kebisingan yang signifikan, mengingat mayoritas mesinnya menggunakan teknologi dua tak yang boros bahan bakar dan mengeluarkan asap tebal. Selain itu, kapasitas angkutnya yang kecil menjadi kendala saat volume penumpang meningkat tajam di kawasan metropolitan.
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, pemerintah daerah mulai memprioritaskan penggantian armada transportasi umum dengan kendaraan yang lebih ramah lingkungan, seperti angkot berbahan bakar bensin empat tak yang lebih efisien, atau bahkan kendaraan berbasis gas. Proses transisi ini secara bertahap mengurangi jumlah bemo yang beroperasi. Di banyak kota besar, bemo kini hampir sepenuhnya hilang, digantikan oleh moda transportasi yang lebih terstandardisasi.
Namun, di beberapa daerah yang masih mempertahankan ciri khas historisnya atau di wilayah yang populasinya belum terlalu padat, bemo masih dapat ditemukan. Kehadiran mereka kini lebih bernilai sebagai aset budaya dan warisan sejarah. Mereka mengingatkan kita pada era di mana perjalanan komunal terasa lebih intim dan sederhana. Merawat ingatan akan bemo sama pentingnya dengan merawat kendaraan yang tersisa, sebagai bagian dari narasi panjang evolusi transportasi di Nusantara.