Ilustrasi representasi pengaturan suhu tubuh
Demam atau pireksia merupakan respons fisiologis kompleks yang melibatkan peningkatan suhu inti tubuh di atas kisaran normal. Kondisi ini biasanya merupakan adaptasi pertahanan tubuh terhadap infeksi, inflamasi, atau kerusakan jaringan. Agen antipiretik adalah kelompok obat yang secara spesifik dirancang untuk menurunkan suhu tubuh yang meningkat akibat demam, tanpa mempengaruhi termoregulasi normal pada kondisi euvolemia.
Secara umum, mekanisme utama aksi obat antipiretik melibatkan penghambatan sintesis dan pelepasan prostaglandin (PGs) di sistem saraf pusat (SSP), khususnya di hipotalamus. Prostaglandin E2 (PGE2) adalah mediator kunci yang menaikkan titik setel termostat hipotalamus. Dengan menghambat enzim Siklooksigenase (COX), terutama COX-2, yang mengkatalisis konversi asam arakidonat menjadi PGs, obat antipiretik efektif membalikkan efek pirogen endogen.
Tinjauan pustaka mengenai agen antipiretik secara tradisional berpusat pada tiga kelompok utama, meskipun terdapat perbedaan dalam spektrum aksi mereka (analgesik, anti-inflamasi, dan antipiretik):
Parasetamol adalah salah satu agen antipiretik yang paling umum digunakan secara global. Keunggulan utamanya terletak pada profil keamanannya yang baik ketika digunakan sesuai dosis anjuran, serta sifat analgesik dan antipiretiknya yang kuat tanpa memiliki efek anti-inflamasi perifer yang signifikan pada dosis terapeutik. Mekanisme kerjanya diyakini lebih selektif terhadap COX di SSP dibandingkan di jaringan perifer. Meskipun demikian, penggunaan kronis atau dosis berlebihan diketahui berpotensi menyebabkan hepatotoksisitas karena produksi metabolit reaktif (NAPQI).
OAINS, seperti Ibuprofen, Naproxen, dan Asam Asetilsalisilat (Aspirin), bekerja dengan menghambat enzim COX-1 dan COX-2 secara sentral dan perifer. Penghambatan ini tidak hanya menurunkan demam tetapi juga meredakan nyeri (analgesik) dan mengurangi peradangan (anti-inflamasi). Aspirin, meskipun efektif, penggunaannya pada anak-anak dengan infeksi virus (terutama cacar air atau influenza) harus dihindari karena risiko Sindrom Reye. Ibuprofen dan Naproxen sering menjadi pilihan karena efikasi yang terbukti dalam menurunkan demam pada berbagai usia.
Selain dua kelompok utama di atas, beberapa agen lain mungkin memiliki efek antipiretik sebagai efek samping atau dalam konteks terapi yang berbeda. Misalnya, kortikosteroid memiliki efek antipiretik yang kuat melalui penghambatan fosfolipase A2, yang memblokir jalur awal produksi mediator inflamasi. Namun, penggunaannya terbatas karena efek samping sistemiknya yang luas.
Pemilihan agen antipiretik harus mempertimbangkan usia pasien, etiologi demam, dan adanya komorbiditas. Pada populasi pediatrik, penentuan dosis harus sangat akurat untuk menghindari toksisitas, terutama untuk parasetamol. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gastrointestinal, penggunaan OAINS memerlukan kehati-hatian ekstra karena potensi efek samping pada ginjal dan iritasi mukosa lambung akibat inhibisi COX-1.
Penting untuk ditekankan bahwa agen antipiretik hanya berfungsi sebagai terapi simptomatik. Penggunaan obat ini bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan pasien dengan menurunkan suhu yang tidak nyaman, namun tidak mengatasi penyebab dasar demam. Oleh karena itu, identifikasi dan penanganan infeksi atau kondisi inflamasi yang mendasari tetap menjadi prioritas utama dalam manajemen klinis pasien demam. Penelitian terus berlanjut untuk mengembangkan agen antipiretik yang lebih selektif dan aman, meminimalkan risiko efek samping gastrointestinal dan hepatik yang terkait dengan agen yang ada.