Kelahiran seorang anak merupakan momen yang sangat membahagiakan dalam rumah tangga Muslim. Setelah proses persalinan selesai, terdapat bagian penting dari proses biologis yang menyertainya, yaitu keluarnya plasenta atau yang lebih dikenal sebagai ari-ari. Dalam tradisi masyarakat Indonesia, ari-ari sering kali diperlakukan secara khusus, termasuk proses penguburan atau penanamannya. Pertanyaannya, bagaimana pandangan syariat Islam mengenai tradisi menanam ari-ari ini?
Ari-ari, atau dalam bahasa Arab disebut mashīmah, adalah organ yang berfungsi vital selama masa kehamilan, menghubungkan ibu dan janin. Setelah bayi lahir, ari-ari menjadi benda yang dianggap najis karena mengandung sisa darah dan cairan tubuh. Secara hukum fikih murni, ari-ari yang telah terpisah dari tubuh ibu dikategorikan sebagai benda mati yang terpisah (seperti potongan kuku atau rambut) dan harus dibuang sesuai tata cara pembuangan benda najis.
Status Hukum Ari-Ari dalam Islam
Mayoritas ulama sepakat bahwa tidak ada dalil eksplisit (nas Al-Qur'an atau Hadis sahih) yang secara spesifik memerintahkan atau melarang penanaman ari-ari bayi sebagai sebuah ritual keagamaan. Oleh karena itu, perlakuan terhadap ari-ari kembali pada ranah hukum adat ('urf) atau kemaslahatan umum, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Jika ari-ari dibersihkan dari najis, kemudian dikubur di tanah, hal ini umumnya diperbolehkan karena tujuan penguburan adalah untuk membuang benda kotor agar tidak mengganggu kesehatan atau estetika lingkungan. Praktik ini sering kali mengandung nilai simbolis bagi orang tua, yaitu sebagai bentuk syukur dan doa agar kelak anak tersebut 'tertanam' akarnya dengan baik di lingkungan rumahnya.
Simbolisasi penanaman dan harapan akan pertumbuhan.
Adab dan Tata Cara yang Dianjurkan
Meskipun tidak wajib, jika orang tua memilih untuk menanam ari-ari menurut Islam, beberapa adab sebaiknya diperhatikan agar tidak menyerupai ritual tahayul atau bid'ah:
- Kebersihan: Ari-ari harus dibersihkan terlebih dahulu dari darah dan cairan sisa hingga benar-benar bersih. Sebaiknya dibungkus dengan kain putih bersih.
- Lokasi Penanaman: Pilih lokasi yang bersih dan tidak mengganggu, seperti di pekarangan rumah sendiri. Hindari menguburnya di tempat yang dianggap keramat, di jalan umum, atau di dekat tempat ibadah, karena ini bisa menimbulkan kesalahpahaman syariat.
- Niat yang Benar: Niat utama haruslah sebagai bentuk pembuangan benda kotor secara higienis dan simbolis atas rasa syukur kepada Allah SWT, bukan sebagai bagian dari ibadah yang diwajibkan agama.
- Doa: Setelah dikubur, dianjurkan bagi orang tua untuk memanjatkan doa kepada Allah agar anak yang dilahirkan senantiasa mendapatkan keberkahan dan menjadi anak yang saleh.
Perbedaan dengan Tradisi Lokal
Di banyak daerah di Indonesia, tradisi ini sering kali diiringi dengan pembacaan doa khusus, selamatan, atau bahkan menggunakan dupa/kemenyan. Inilah yang perlu diwaspadai. Jika praktik menanam ari-ari dicampur dengan unsur-unsur yang mengandung kesyirikan (seperti meminta berkah dari tanah atau benda pusaka), maka hukumnya menjadi haram karena memasukkan bid'ah pada ranah ibadah.
Islam menghargai tradisi selama tradisi tersebut tidak melanggar akidah yang lurus (tauhid). Oleh karena itu, jika praktik penguburan dilakukan murni karena alasan kebersihan, kebiasaan lokal yang baik, dan jauh dari unsur takhayul, maka hal tersebut dapat ditoleransi sebagai urusan duniawi (muamalah). Namun, jika ada keraguan atau kekhawatiran akan terjerumus pada hal yang tidak diridai Allah, membuangnya ke tempat sampah yang tertutup atau membakarnya setelah dibersihkan juga merupakan pilihan yang sah secara fikih karena menghilangkan najis.
Inti dari pandangan Islam adalah fokus utama harus selalu tertuju pada hakikat kelahiran, yaitu rasa syukur kepada Allah dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak sesuai ajaran Islam, bukan pada ritual benda mati pasca persalinan. Keputusan akhir mengenai pembuangan ari-ari berada di tangan orang tua, dengan syarat senantiasa menjaga kebersihan dan kemurnian akidah.