Dalam hiruk pikuk kehidupan duniawi, seringkali kita disibukkan oleh pencarian materi, popularitas, dan kenikmatan sesaat. Namun, di balik semua urusan duniawi tersebut, terdapat sebuah panggilan abadi yang tidak boleh diabaikan: panggilan untuk menjaga diri kita sendiri dan seluruh anggota keluarga dari malapetaka terbesar yang mungkin menimpa—yaitu api neraka. Ini bukanlah sekadar mitos atau cerita lama; ini adalah realitas yang ditekankan dalam banyak ajaran spiritual sebagai konsekuensi logis dari pilihan hidup kita di dunia.
Tanggung jawab ini diemban pertama kali oleh kepala rumah tangga, namun sejatinya ini adalah tugas kolektif setiap individu. Ketika kita berbicara tentang "menjaga diri dari api neraka," kita berbicara tentang upaya preventif yang intensif, sebuah benteng spiritual yang dibangun melalui kesadaran, ilmu, dan tindakan nyata. Api neraka melambangkan siksaan abadi akibat kemurkaan Ilahi yang disebabkan oleh penolakan terhadap kebenaran, penindasan, dan kezaliman.
Bagaimana cara membangun benteng pertahanan ini? Jawabannya terletak pada dua pilar utama: ilmu (pengetahuan yang benar) dan ketakwaan (kesadaran akan kehadiran Tuhan). Tanpa ilmu, langkah kita dalam beribadah dan bermuamalah akan salah arah, memudahkan syaitan atau godaan duniawi menyeret kita ke jurang kesesatan. Ilmu membekali kita dengan peta jalan keselamatan.
Setelah ilmu didapatkan, ketakwaan harus menjadi penggerak utama. Ketakwaan adalah refleksi dari ilmu tersebut dalam tindakan sehari-hari. Ini berarti konsisten dalam menjalankan kewajiban agama, menjauhi larangan-Nya, dan senantiasa memperbaiki akhlak. Bagi keluarga, ini berarti menciptakan lingkungan rumah yang kondusif bagi pertumbuhan spiritual anak-anak. Rumah seharusnya menjadi madrasah pertama tempat mereka belajar tentang kebaikan, kejujuran, dan rasa takut kepada Yang Maha Kuasa.
Menjaga keluarga dari api neraka bukanlah tugas pasif. Ia menuntut peran aktif orang tua. Kita tidak bisa hanya berharap anak-anak kita secara otomatis akan menjadi baik hanya karena kita baik. Lingkungan luar sangat kuat pengaruhnya. Oleh karena itu, komunikasi terbuka mengenai kebenaran dan konsekuensi adalah kunci.
Diskusikanlah bersama nilai-nilai moral yang tinggi. Berikan contoh nyata. Ketika seorang ayah atau ibu memilih untuk menahan lisan dari ghibah (menggunjing), anak-anak belajar menahan diri. Ketika mereka memilih untuk bersedekah meski dalam kesulitan, anak-anak belajar kemurahan hati. Pembentukan karakter ini jauh lebih kuat daripada seribu ceramah tanpa praktik. Ajarkan mereka tentang rahmat Allah yang luas, namun ingatkan juga tentang keadilan-Nya yang mengharuskan pertanggungjawaban atas setiap perbuatan.
Kelalaian dalam hal ini memiliki konsekuensi yang sangat mahal. Ketika kita lalai mendidik, kita membuka pintu bagi pengaruh negatif untuk masuk dan menanamkan benih yang menjauhkan anggota keluarga dari jalan yang lurus. Kebiasaan buruk yang dibiarkan tumbuh dalam rumah tangga—seperti kebohongan kronis, ketidakjujuran dalam bisnis, atau pengabaian hak-hak sesama—semuanya adalah bahan bakar kecil yang, jika terakumulasi, dapat memperkuat risiko kegagalan di hadapan Tuhan.
Maka, marilah kita jadikan komitmen untuk jaga dirimu dan keluargamu dari api neraka sebagai prioritas nomor satu yang melampaui ambisi duniawi manapun. Investasikan waktu, energi, dan perhatian Anda pada pembinaan iman dan moralitas. Karena pada akhirnya, satu-satunya harta yang akan menemani kita melewati kematian adalah amal saleh dan warisan kebaikan yang kita tanamkan dalam jiwa keturunan kita.