Hukum Hak Asasi Manusia (Hukum HAM) merupakan cabang hukum internasional yang paling dinamis dan krusial. Ia bukan sekadar seperangkat aturan atau norma statis, melainkan sebuah kerangka moral dan legal yang terus berkembang, dirancang untuk melindungi martabat setiap individu tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, bahasa, agama, atau status lainnya. Hukum HAM berdiri sebagai benteng pertahanan kemanusiaan, menjamin bahwa kekuasaan negara selalu dibatasi oleh tanggung jawab fundamental terhadap warga negaranya.
Di tingkat global, Hukum HAM berakar kuat pada kredo universalitas, bahwa hak-hak ini adalah milik inheren setiap orang, tidak dapat dicabut, dan saling bergantung satu sama lain. Pemahaman mendalam mengenai fondasi, sejarah, instrumen, dan tantangan penegakan Hukum HAM adalah prasyarat bagi setiap upaya mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan setara. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Hukum HAM, dari landasan filosofis hingga mekanisme implementasinya di tingkat internasional dan nasional.
Untuk memahami Hukum HAM, penting untuk menetapkan definisi dan karakteristik dasarnya yang membedakannya dari bentuk hukum lainnya. Hukum HAM internasional adalah serangkaian aturan dan perjanjian yang ditetapkan di tingkat global dan regional yang mengikat negara-negara untuk berperilaku tertentu terhadap individu dan kelompok dalam wilayah yurisdiksi mereka.
Terdapat empat karakteristik fundamental yang melekat pada konsep hak asasi manusia, yang semuanya menegaskan bahwa hak tersebut bukanlah pemberian negara, melainkan bawaan sejak lahir:
Hukum HAM internasional membebankan tiga tingkat kewajiban utama pada negara (State Obligations), yang diakui secara luas dalam yurisprudensi dan doktrin:
Meskipun gagasan tentang hak bawaan telah berakar sejak Magna Carta (1215), Bill of Rights Inggris (1689), Deklarasi Kemerdekaan AS (1776), dan Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara Prancis (1789), Hukum HAM modern sebagai sistem internasional baru terkonsolidasi setelah Perang Dunia II, didorong oleh kengerian Holocaust dan trauma konflik global.
Pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 menjadi titik balik. Piagam PBB secara eksplisit menyebutkan tujuan untuk "mencapai kerja sama internasional ... dalam memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua tanpa pembedaan."
Diadopsi oleh Majelis Umum PBB, DUHAM sering disebut sebagai "piagam agung kemanusiaan." Meskipun awalnya bersifat non-mengikat (sebagai resolusi), ia telah menjadi hukum kebiasaan internasional karena pengakuan universalnya. DUHAM menggarisbawahi hak-hak sipil dan politik (seperti hak untuk hidup, larangan perbudakan) serta hak ekonomi, sosial, dan budaya (seperti hak atas pekerjaan, pendidikan, dan standar hidup yang memadai), menjembatani dualisme hak yang akan muncul kemudian.
Karena DUHAM tidak mengikat secara hukum, PBB memutuskan untuk mengembangkan perjanjian (traktat) yang mengikat negara-negara. Proses ini menghasilkan apa yang dikenal sebagai “Pakta Hak Asasi Manusia Internasional” (International Bill of Rights):
ICCPR dan ICESCR, bersama dengan DUHAM, membentuk inti dari Hukum HAM Internasional kontemporer dan menjadi dasar bagi semua perjanjian HAM berikutnya.
Selain DUHAM dan dua Kovenan, sistem PBB telah mengembangkan serangkaian perjanjian khusus yang menargetkan kelompok rentan atau isu spesifik. Negara yang meratifikasi perjanjian ini terikat oleh ketentuan-ketentuannya dan tunduk pada pengawasan komite ahli terkait (Treaty Bodies). Perjanjian utama tersebut meliputi:
Para ahli hukum sering mengklasifikasikan hak asasi manusia ke dalam tiga "generasi" berdasarkan sejarah kemunculannya dan sifat kewajiban yang ditimbulkan terhadap negara. Meskipun klasifikasi ini membantu dalam analisis, penting untuk diingat bahwa, sesuai prinsip indivisibility, ketiga generasi ini sama pentingnya.
Ini adalah hak-hak yang muncul dari pencerahan abad ke-17 dan ke-18, berfokus pada kebebasan dan perlindungan individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara. Hak-hak ini diabadikan dalam ICCPR dan dianggap sebagai hak negatif, artinya negara wajib menahan diri (non-interference). Contoh:
Hak-hak ini muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, dipengaruhi oleh Revolusi Industri dan tuntutan keadilan sosial. Hak-hak ini memerlukan tindakan positif dari negara (kewajiban untuk memenuhi) dan diabadikan dalam ICESCR. Realisasinya sering kali tunduk pada ketersediaan sumber daya negara.
Hak-hak ini muncul belakangan, seringkali dipicu oleh dekolonisasi, isu lingkungan, dan globalisasi. Hak generasi ketiga sering kali tidak hanya menuntut tindakan dari negara individu tetapi juga kerja sama global dan solidaritas antar-negara. Mereka bersifat kolektif.
Hukum HAM akan tidak efektif tanpa mekanisme yang kuat untuk mengawasi implementasi, menyelidiki pelanggaran, dan memberikan sanksi. Meskipun kedaulatan negara tetap menjadi hambatan utama, sistem internasional telah mengembangkan jaringan pengawasan yang kompleks.
Setiap perjanjian inti PBB memiliki komite ahli independen sendiri (Treaty Body) yang bertugas memantau kepatuhan negara-negara pihak. Tugas utama komite-komite ini meliputi:
HRC, yang berbasis di Jenewa, adalah badan antarpemerintah utama PBB yang bertanggung jawab untuk mempromosikan dan melindungi HAM di seluruh dunia. Dibentuk pada tahun 2006 menggantikan Komisi HAM, HRC memiliki beberapa instrumen penegakan yang kuat:
UPR adalah fitur unik dan revolusioner yang meninjau catatan HAM semua 193 negara anggota PBB setiap 4,5 tahun sekali. Peninjauan dilakukan oleh negara anggota lainnya (Peer Review) berdasarkan laporan dari negara yang ditinjau, laporan PBB (termasuk Treaty Bodies), dan laporan dari masyarakat sipil. UPR menghasilkan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh negara yang bersangkutan. UPR memastikan akuntabilitas bagi setiap negara, tanpa memandang kekuatan geopolitiknya.
Ini adalah mandat yang diberikan kepada individu ahli independen (Rapporteurs Khusus atau Perwakilan Khusus) atau kelompok kerja untuk memantau, menyelidiki, memberi nasihat, dan melaporkan isu HAM tematik (misalnya, kebebasan berekspresi, penyiksaan) atau situasi di negara tertentu. Prosedur Khusus melakukan kunjungan negara (country visits), berkomunikasi dengan pemerintah (letters of allegation), dan menyajikan laporan tahunan kepada HRC dan Majelis Umum.
ICC, yang didirikan berdasarkan Statuta Roma, tidak secara teknis menegakkan Hukum HAM, tetapi menegakkan Hukum Pidana Internasional. Namun, yurisdiksinya atas kejahatan inti (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang) sering kali merupakan pelanggaran HAM yang paling berat dan sistematis. ICC berfungsi sebagai mekanisme akuntabilitas bagi individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat tersebut, melengkapi mekanisme hukum domestik (complementarity principle).
ICJ menyelesaikan sengketa antar-negara. Meskipun jarang berurusan langsung dengan individu, keputusannya dapat memiliki implikasi besar terhadap Hukum HAM, terutama dalam kasus yang melibatkan interpretasi perjanjian internasional atau kebiasaan Hukum Internasional, seperti kasus yang melibatkan perlakuan terhadap warga negara asing atau kasus genosida.
Mekanisme regional seringkali lebih efektif karena kedekatan budaya dan politik. Tiga sistem utama adalah:
Hukum HAM internasional harus diimplementasikan secara efektif di tingkat domestik. Kewajiban utama untuk menjamin hak-hak individu selalu berada di pundak negara berdaulat. Ini memerlukan integrasi norma-norma internasional ke dalam hukum, kebijakan, dan praktik nasional.
Negara memiliki dua pendekatan utama dalam memasukkan perjanjian internasional ke dalam sistem hukumnya:
Di banyak negara, termasuk Indonesia, pendekatan dualisme yang dimodifikasi sering digunakan. Ratifikasi perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang, yang kemudian menciptakan kewajiban bagi semua lembaga negara.
Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (NHRIs), seperti Komnas HAM di Indonesia, memainkan peran vital dalam menjembatani hukum internasional dan praktik domestik. Untuk dianggap efektif dan kredibel, NHRIs harus mematuhi Prinsip Paris (Paris Principles), yang menjamin kemandirian, pluralisme, dan mandat yang luas.
Fungsi utama NHRIs meliputi:
Untuk pelanggaran berat (Gross Violations) seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, negara wajib membentuk pengadilan khusus HAM. Di banyak yurisdiksi, Pengadilan HAM Ad Hoc atau permanen didirikan untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran berat yang melanggar hak-hak non-derogable, memastikan bahwa impunitas tidak terjadi. Prinsip akuntabilitas ini adalah manifestasi paling nyata dari kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dasar.
Perbedaan antara ICCPR (Hak Sipil & Politik) dan ICESCR (Hak Ekonomi, Sosial & Budaya) bukan hanya terletak pada jenis hak, tetapi juga pada sifat kewajiban negara yang ditimbulkannya. Memahami kedua kovenan ini secara detail adalah kunci untuk memahami jangkauan Hukum HAM modern.
Hak-hak di bawah ICCPR umumnya dianggap sebagai hak yang dapat ditegakkan secara segera. Artinya, negara tidak dapat beralasan kurangnya sumber daya untuk menunda perlindungan hak-hak ini.
Hak ini adalah hak fundamental dari mana hak-hak lain berasal. Komentar Umum No. 36 dari Komite HAM menegaskan bahwa hak atas hidup bukan hanya kewajiban negatif (tidak boleh mengambil nyawa secara sewenang-wenang), tetapi juga kewajiban positif (mengambil tindakan untuk mencegah ancaman yang dapat diprediksi terhadap kehidupan, seperti mencegah kelaparan, penyakit, atau kekerasan senjata). Penggunaan hukuman mati, jika masih ada, harus dibatasi hanya untuk kejahatan paling serius, dan proses hukumnya harus sempurna (due process).
Pasal 19 melindungi kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide dalam bentuk apa pun, terlepas dari batas-batas. Namun, hak ini bukanlah hak absolut. Pembatasan diperbolehkan, tetapi harus memenuhi tes ketat tiga bagian (three-part test):
Pasal 2 ICESCR mengakui bahwa realisasi penuh hak-hak ini mungkin memerlukan waktu dan tergantung pada sumber daya negara. Oleh karena itu, negara diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah, secara individual maupun melalui bantuan dan kerja sama internasional, untuk mencapai realisasi penuh hak-hak tersebut "sepanjang kemampuan sumber dayanya yang tersedia" (to the maximum of its available resources).
Meskipun kewajiban bersifat progresif, Komite ESCR menekankan bahwa setiap negara pihak memiliki kewajiban minimum inti yang segera untuk memastikan pemenuhan setidaknya tingkat minimum yang esensial dari setiap hak. Misalnya, dalam hak atas kesehatan, kewajiban minimum inti termasuk menyediakan air minum yang aman dan sanitasi dasar; negara tidak dapat membenarkan kegagalan untuk memenuhi inti minimum ini dengan alasan kekurangan sumber daya, kecuali dalam keadaan luar biasa dan dibuktikan secara meyakinkan.
ICESCR membedakan empat tingkatan pendidikan:
Salah satu isu paling kompleks adalah bagaimana Hukum HAM berinteraksi dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau Hukum Perang. Kedua kerangka hukum ini mengatur tindakan negara, tetapi dalam konteks yang berbeda.
Hukum HAM terus berlaku selama konflik bersenjata (dengan beberapa pengecualian yang sah, misalnya melalui deklarasi keadaan darurat). HHI berlaku secara paralel dengan Hukum HAM ketika konflik bersenjata (internasional atau non-internasional) terjadi. Dalam kasus di mana ada perbedaan antara standar yang diizinkan oleh HHI dan yang diizinkan oleh Hukum HAM, para ahli umumnya berpendapat bahwa standar yang lebih spesifik atau yang memberikan perlindungan yang lebih besar harus berlaku (lex specialis).
Misalnya, penahanan. Dalam keadaan damai, Hukum HAM (ICCPR) mengatur penangkapan dan penahanan secara ketat. Dalam konflik bersenjata, HHI mengizinkan penahanan tawanan perang dan kombatan untuk alasan keamanan. Meskipun HHI memberikan dasar hukum untuk penahanan, Hukum HAM (seperti larangan penyiksaan dan hak perlakuan manusiawi) tetap berlaku untuk perlakuan terhadap semua tahanan.
Pelanggaran serius terhadap HHI (seperti pembunuhan yang disengaja, penyiksaan, atau deportasi) disebut sebagai Kejahatan Perang. Ketika kejahatan ini dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil, mereka menjadi Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Kedua kategori kejahatan ini merupakan pelanggaran paling ekstrem terhadap Hukum HAM dan berada di bawah yurisdiksi ICC, menegaskan hubungan erat antara dua cabang hukum ini dalam konteks akuntabilitas.
Meskipun Hukum HAM telah berkembang pesat, tantangan implementasi tetap besar, didorong oleh perubahan geopolitik, teknologi, dan lingkungan.
Perusahaan Transnasional (TNCs) kini memiliki kekuatan ekonomi yang setara, bahkan melebihi, banyak negara. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNCs (misalnya, perbudakan modern, kerusakan lingkungan) menimbulkan masalah akuntabilitas. Hukum HAM internasional secara tradisional berfokus pada kewajiban negara.
Kerangka PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UN Guiding Principles on Business and Human Rights - UNGPs), yang didasarkan pada tiga pilar (kewajiban negara untuk melindungi, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati, dan akses ke pemulihan), berusaha mengatasi kesenjangan ini. Prinsip ini menegaskan bahwa meskipun perusahaan tidak meratifikasi perjanjian HAM, mereka memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menghormati HAM di seluruh rantai pasok global mereka.
Kemajuan teknologi telah menciptakan dimensi baru bagi pelaksanaan hak-hak, khususnya kebebasan berekspresi (Pasal 19 ICCPR) dan hak atas privasi (Pasal 17 ICCPR). Pengawasan massal oleh negara, penyebaran misinformasi dan ujaran kebencian secara daring, serta ancaman terhadap data pribadi adalah isu-isu baru yang memerlukan interpretasi ulang terhadap perjanjian lama. Dewan HAM PBB telah mengakui akses ke internet sebagai faktor penting dalam pemenuhan hak-hak dan telah mendesak negara untuk tidak memutus akses internet secara sewenang-wenang (internet shutdowns).
Perubahan iklim telah diakui oleh para ahli dan badan-badan PBB sebagai "ancaman pengali" (threat multiplier) terhadap Hak Asasi Manusia. Dampak iklim (kenaikan permukaan air laut, kekeringan, bencana alam ekstrem) secara langsung dan tidak langsung mengancam hak atas hidup, kesehatan, air, makanan, dan perumahan. Negara yang gagal mengambil langkah yang memadai untuk mitigasi dan adaptasi iklim dapat dianggap melanggar kewajiban positifnya di bawah Hukum HAM, terutama terhadap kelompok rentan seperti masyarakat adat dan negara pulau kecil.
Salah satu tantangan terberat adalah prinsip kedaulatan negara, yang secara tradisional melarang intervensi eksternal dalam urusan domestik. Konsep "Tanggung Jawab untuk Melindungi" (Responsibility to Protect - R2P), yang diadopsi PBB pada tahun 2005, mencoba menyeimbangkan kedaulatan dengan HAM. R2P menegaskan bahwa kedaulatan bukanlah hak istimewa, melainkan tanggung jawab. Jika suatu negara gagal melindungi penduduknya dari kejahatan inti (genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan), masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan kolektif, termasuk intervensi militer sebagai pilihan terakhir, melalui otorisasi Dewan Keamanan PBB.
Hukum HAM internasional menunjukkan upaya yang disengaja untuk mengembangkan standar perlindungan spesifik bagi kelompok-kelompok yang secara historis menjadi sasaran diskriminasi atau rentan terhadap marjinalisasi.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) adalah instrumen utama yang mendefinisikan diskriminasi terhadap wanita dalam arti yang luas. CEDAW tidak hanya menuntut penghapusan diskriminasi *de jure* (dalam hukum), tetapi juga *de facto* (dalam praktik). Pasal-pasal CEDAW mencakup hak-hak politik, ekonomi, budaya, dan terutama penting, kewajiban untuk mengubah pola-pola sosial dan budaya yang didasarkan pada stereotip peran gender.
Komite CEDAW secara tegas menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, adalah bentuk diskriminasi yang memerlukan intervensi positif negara, menolak pandangan lama bahwa hal tersebut adalah "urusan pribadi" yang berada di luar jangkauan Hukum HAM internasional.
Konvensi tentang Hak-Hak Anak (CRC) mengubah pandangan terhadap anak dari objek perlindungan menjadi subjek hukum yang memiliki hak. CRC didasarkan pada empat prinsip fundamental:
CRC tidak hanya mencakup hak-hak sipil (seperti kebebasan beragama bagi anak), tetapi juga hak-hak ekonomi dan sosial (seperti perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan hak atas kesehatan).
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) menandai pergeseran paradigma dari model medis atau amal menuju model sosial tentang disabilitas. CRPD tidak melihat disabilitas sebagai kekurangan individu, tetapi sebagai hasil interaksi antara keterbatasan fisik/mental dan hambatan lingkungan atau sikap. CRPD mewajibkan negara untuk memastikan "akomodasi yang layak" (reasonable accommodation) dan aksesibilitas penuh (full accessibility) di semua bidang kehidupan, termasuk transportasi, informasi, dan komunikasi, untuk menjamin partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam masyarakat.
Dalam upaya menjamin akuntabilitas terhadap pelanggaran HAM berat, Hukum Internasional menghadapi dilema antara kedaulatan dan keadilan. Dua konsep penting yang berupaya mengatasi impunitas adalah imunitas kepala negara dan yurisdiksi universal.
Secara tradisional, kepala negara dan pejabat tinggi menikmati imunitas absolut dari penuntutan pidana di pengadilan asing. Namun, yurisprudensi internasional modern, terutama setelah dibentuknya pengadilan pidana internasional seperti ICC dan ad hoc tribunal (ICTY/ICTR), telah mengikis imunitas ini, khususnya terkait kejahatan inti internasional.
Statuta Roma ICC (Pasal 27) secara eksplisit menolak imunitas untuk kepala negara, kepala pemerintahan, atau pejabat yang sedang menjabat di hadapan Mahkamah. Prinsip ini menegaskan bahwa sifat kejahatan (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan) melebihi perlindungan prosedural kedaulatan nasional. Namun, penuntutan di pengadilan domestik negara ketiga, di luar kerangka ICC, masih sangat diperdebatkan dan sering kali bergantung pada interpretasi hukum kebiasaan internasional oleh pengadilan nasional masing-masing.
Yurisdiksi universal adalah prinsip hukum internasional yang memungkinkan atau mewajibkan negara untuk mengajukan tuntutan pidana atas individu yang diduga melakukan kejahatan internasional yang sangat serius (seperti penyiksaan, kejahatan perang, atau genosida), terlepas dari di mana kejahatan itu terjadi, kebangsaan pelaku, atau kebangsaan korban. Dasar pemikiran di balik yurisdiksi universal adalah bahwa kejahatan-kejahatan ini sangat mengerikan sehingga melukai seluruh komunitas internasional (obligations erga omnes).
Meskipun yurisdiksi universal jarang diterapkan karena kendala politik dan praktis, ia tetap berfungsi sebagai alat pencegahan dan jaring pengaman terakhir untuk memastikan bahwa para pelaku pelanggaran berat tidak menemukan tempat berlindung yang aman (safe haven) di mana pun di dunia, sejalan dengan prinsip "hukum harus mengejar para pelaku kejahatan serius."
Hukum Hak Asasi Manusia adalah proyek yang berkelanjutan dan tidak pernah selesai. Dalam menghadapi tatanan dunia yang semakin terfragmentasi dan bangkitnya nasionalisme otoriter, sistem HAM global menghadapi tekanan yang signifikan. Masa depan Hukum HAM akan sangat bergantung pada kemampuan sistem untuk beradaptasi dengan tantangan baru.
Salah satu kelemahan utama sistem saat ini adalah celah antara norma (apa yang harus dilakukan) dan implementasi (apa yang sebenarnya dilakukan). Upaya di masa depan harus berfokus pada penguatan mekanisme kepatuhan, termasuk meningkatkan efektivitas "Concluding Observations" Treaty Bodies dan memastikan tindak lanjut yang nyata terhadap rekomendasi UPR. Diplomasi HAM, dukungan teknis kepada negara berkembang, dan tekanan terkoordinasi dari aktor regional dan masyarakat sipil akan sangat penting.
Hukum HAM harus terus mengintegrasikan dan menanggapi isu-isu kontemporer yang sebelumnya tidak diantisipasi, seperti: etika kecerdasan buatan (AI) dan diskriminasi algoritmik; hak-hak yang berkaitan dengan krisis air global; serta isu-isu migrasi paksa akibat konflik dan iklim. Proses ini memerlukan pengembangan Komentar Umum dan Prinsip Panduan baru oleh badan-badan ahli untuk menafsirkan perjanjian yang sudah ada dalam konteks modern.
Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defenders - HRDs) adalah aktor kunci dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas di tingkat domestik. Mereka seringkali berada di garis depan risiko, menghadapi ancaman, penangkapan sewenang-wenang, atau bahkan pembunuhan. Komunitas internasional memiliki kewajiban untuk melindungi ruang sipil (civic space) dan memastikan bahwa HRDs dapat bekerja tanpa rasa takut akan pembalasan, mengakui peran penting mereka dalam memverifikasi dan melaporkan kepatuhan negara terhadap Hukum HAM.
Hukum Hak Asasi Manusia merupakan salah satu pencapaian terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Ia menyediakan bahasa yang universal untuk menuntut keadilan, kesetaraan, dan martabat. Dari fondasi filosofisnya yang diabadikan dalam DUHAM hingga jaringan kompleks perjanjian dan mekanisme pengawasan modern (UPR, Treaty Bodies, ICC), Hukum HAM telah menetapkan standar minimal bagi pemerintahan yang beradab.
Meskipun tantangan yang dihadapi—mulai dari impunitas, relativisme budaya, hingga ancaman teknologi dan lingkungan—terus menguji ketahanan kerangka hukum ini, prinsip universalitas dan non-diskriminasi tetap menjadi kompas moral dan legal bagi komunitas global. Penegakan Hukum HAM membutuhkan komitmen politik yang teguh dari negara, pengawasan yang berkelanjutan dari badan-badan internasional, dan partisipasi aktif dari setiap individu dan masyarakat sipil. Hanya melalui upaya kolektif yang tak kenal lelah, visi tatanan dunia di mana setiap manusia dapat menikmati hak-haknya secara penuh dapat direalisasikan.