Ilustrasi: Pelanggaran kesucian amanah wakaf.
Tanah wakaf adalah aset berharga yang ditinggalkan oleh seseorang (wakif) dengan niat mulia agar manfaatnya dapat dinikmati oleh umat atau tujuan keagamaan secara terus-menerus. Hukum dan etika seputar tanah wakaf sangat ketat, dan konsekuensinya—baik di dunia maupun akhirat—dianggap sangat serius. Memanfaatkan atau apalagi menjual tanah wakaf seringkali dipandang sebagai pelanggaran berat terhadap amanah ilahi, yang mengundang risiko besar berupa apa yang disebut sebagai azab.
Dalam pandangan Islam, tanah wakaf secara hukum telah dikeluarkan dari kepemilikan pribadi dan diserahkan manfaatnya untuk kepentingan umum (fi sabilillah). Prinsip dasarnya adalah al-ashlu fil wakfi la yubaa’ wa laa yuhaab, artinya harta benda wakaf pada dasarnya tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan, maupun dihibahkan. Hal ini karena statusnya sudah menjadi milik Allah yang disalurkan melalui kemaslahatan umat.
Ketika seseorang, baik itu nadzir (pengelola) maupun pihak lain yang memiliki akses, nekat menjual aset tersebut, mereka tidak hanya melakukan pengkhianatan terhadap wakif, tetapi juga melanggar ketentuan syariat yang mengatur keberlangsungan amal jariyah tersebut. Tindakan ini sama dengan merampas hak orang banyak di masa depan.
Azab tidak selalu berbentuk supernatural. Dalam konteks duniawi, menjual tanah wakaf sering kali berujung pada kehancuran reputasi dan kerugian finansial yang tidak terduga. Secara hukum positif di banyak negara, penjualan aset wakaf tanpa prosedur yang sah dan izin otoritas agama adalah tindak pidana penipuan atau penggelapan aset. Pelaku akan menghadapi tuntutan hukum, pemiskinan harta, dan kehilangan kehormatan di mata masyarakat.
Secara sosial, orang yang terbukti terlibat dalam penjualan tanah wakaf akan dicap sebagai pengkhianat amanah. Kepercayaan publik akan hilang, dan mereka akan kesulitan mendapatkan legitimasi dalam urusan sosial atau keagamaan lainnya. Ini adalah bentuk 'azab sosial' yang dampaknya bisa bertahan turun-temurun.
Ancaman terbesar bagi pelaku penjualan tanah wakaf adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Banyak dalil agama yang menekankan betapa seriusnya pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, terutama yang berkaitan dengan amal jariyah. Jika tanah tersebut diwakafkan untuk pembangunan masjid, madrasah, atau fasilitas umum, maka hasil penjualan tersebut dianggap sebagai uang haram yang diperoleh dari merusak sarana ibadah dan pendidikan.
Para ulama menegaskan bahwa pertanggungjawaban ini jauh lebih berat daripada merampas hak milik individu biasa. Hal ini dikarenakan wakaf melibatkan kepentingan kolektif umat yang berkelanjutan. Jika seorang pengelola wakaf (nadhir) menjualnya karena kebutuhan mendesak, hal itu tetap dianggap kelalaian karena ia seharusnya mencari solusi alternatif yang diperbolehkan syariat untuk menutupi kebutuhan tersebut, bukan dengan menghancurkan pokok hartanya. Konsekuensinya bisa berupa hilangnya pahala amal jariyah wakif dan pelakunya sendiri menanggung beban dosa yang berlipat ganda.
Penting bagi umat untuk memahami bahwa menjaga keutuhan tanah wakaf adalah bagian dari iman. Setiap upaya untuk mengubah peruntukan, menyewakan secara permanen tanpa izin, atau menjualnya adalah langkah menuju jurang kehancuran spiritual. Sebaliknya, pihak yang menjaga dan mengembangkan aset wakaf akan mendapatkan pahala yang terus mengalir selama manfaat wakaf tersebut dirasakan.
Oleh karena itu, kesadaran kolektif bahwa menjual tanah wakaf adalah tindakan yang mengundang azab—baik berupa kehancuran di dunia maupun siksa di akhirat—harus ditanamkan kuat. Amanah wakaf adalah ujian keikhlasan tertinggi, dan pelanggaran atasnya membawa risiko yang tak terperikan. Menghormati wakaf sama dengan menghormati janji suci antara manusia dan Tuhannya.