Ketika kita berbicara mengenai kekayaan bahasa di Indonesia, Sumatera Selatan, khususnya Kota Palembang, memiliki ciri khas tersendiri yang sangat mudah dikenali: Bahasa Palembang. Salah satu frasa paling fundamental dan sering digunakan dalam percakapan sehari-hari adalah "Apo Dio?". Frasa ini bukan sekadar kata acak, melainkan inti dari komunikasi sehari-hari masyarakat setempat.
Bagi pendatang atau mereka yang baru pertama kali mendengar logat kental Wong Kito Galo, mendengar pertanyaan "Apo Dio?" seringkali menimbulkan kebingungan sesaat. Apakah ini pertanyaan, penolakan, atau sekadar basa-basi? Jawabannya adalah semua itu bisa terjadi.
Secara umum, "Apo Dio?" berfungsi sebagai pengganti pertanyaan dasar seperti "Apa itu?", "Ada apa?", atau bahkan ungkapan keheranan. Contoh klasiknya adalah ketika seseorang mendengar gosip atau melihat kejadian yang tidak biasa. Reaksi spontan yang keluar seringkali adalah, "Hah? Apo dio pulo kau ini?" (Hah? Apa sih kamu ini?). Di sini, ia berfungsi sebagai ekspresi terkejut atau meminta klarifikasi atas ucapan orang lain.
Dalam konteks yang lebih santai, jika Anda menunjuk suatu benda dan bertanya kepada warga lokal, "Apo dio ini?", mereka akan menjawab dengan menyebutkan nama benda tersebut dalam Bahasa Palembang. Bahasa ini memang sangat efisien dan kaya akan istilah lokal yang tidak selalu memiliki padanan langsung dalam Bahasa Indonesia baku.
Penting untuk diketahui bahwa Bahasa Palembang (sering disebut Bahasa Plembang) tidak tunggal. Ia terbagi menjadi beberapa tingkatan, mirip dengan Bahasa Jawa atau Sunda. Tingkatan ini memengaruhi bagaimana kata "Apo Dio" diucapkan.
Variasi lain dari kata tanya "Apo" (Apa) meliputi: "Siapo" (Siapa), "Dimano" (Di mana), dan "Kapan" (Kapan). Namun, "Apo Dio" memiliki resonansi tersendiri karena sering dilekatkan pada kata sifat atau keterangan lain untuk memperkuat makna. Misalnya, menggabungkannya dengan kata "Pulo" menjadi "Apo Dio Pulo," yang berarti "Apa lagi sih ini?"
Ikonografi "Apo Dio" meningkat pesat seiring dengan popularitas budaya Palembang di kancah nasional. Hal ini tak lepas dari beberapa faktor. Pertama, Palembang adalah kota besar dengan sejarah panjang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, memberikan kekayaan linguistik yang mendalam. Kedua, pengaruh budaya populer, seperti film, musik, dan media sosial, seringkali mengangkat frasa ini sebagai lambang keramahan dan gaya bicara khas Sumsel.
Bagi penutur asli, menggunakan "Apo Dio" adalah cara menunjukkan identitas kedaerahan yang kuat. Ketika seseorang menggunakan frasa ini, secara otomatis ia terhubung dengan akar budaya Musi yang kental. Ini bukan sekadar bahasa, tetapi penanda sosial dan emosional. Jika Anda berkunjung ke Palembang dan mencoba menggunakan "Apo Dio" dengan benar (walaupun intonasinya belum sempurna), biasanya warga lokal akan merespons dengan senyuman hangat.
Memahami satu frasa seperti "Apo Dio" adalah pintu gerbang untuk mengapresiasi seluruh struktur Bahasa Palembang. Meskipun banyak kata yang terdengar asing bagi pendatang, fondasi pertanyaan dan interaksi sosialnya sering kali serupa, hanya dibalut dalam diksi yang unik. Jadi, lain kali Anda mendengar, "Apo dio ini, seru nian!" (Apa sih ini, seru sekali!), Anda sudah tahu bahwa Anda sedang berinteraksi dengan semangat khas Wong Kito Galo.