Pernahkah Anda berada dalam percakapan, baik secara langsung maupun daring, di mana Anda tiba-tiba terpaku, mengerutkan dahi, dan berpikir dalam hati, "Apaan ngomongnya?" Ungkapan ini, yang terdengar santai dan terkadang sedikit kasar, merupakan manifestasi dari kesenjangan komunikasi yang semakin lebar di era informasi serba cepat ini. Kebingungan ini bukan selalu karena lawan bicara kita tidak pintar; seringkali, ini adalah hasil dari perpaduan jargon teknis, slang digital yang cepat berubah, dan asumsi kontekstual yang tidak terbagi.
Dalam dunia profesional, terutama di bidang teknologi, keuangan, atau pemasaran digital, kita terus-menerus dibombardir dengan akronim dan jargon baru. 'SEO', 'KPI', 'Agile', 'Blockchain'—semua ini adalah kata-kata yang memiliki makna spesifik dalam lingkaran tertentu. Namun, bagi orang awam, atau bahkan mereka yang berada di departemen berbeda, istilah-istilah ini bisa terasa seperti bahasa asing. Ketika seseorang menggunakan serangkaian jargon tanpa definisi yang jelas, respons alami kita adalah kebingungan, yang kemudian kita ekspresikan sebagai "apaan ngomongnya."
Fenomena ini diperparah oleh kecepatan perkembangan bahasa gaul di media sosial. Apa yang populer di TikTok hari ini mungkin sudah usang besok. Generasi yang berbeda seringkali kesulitan menjembatani jurang leksikal ini. Seorang remaja mungkin menggunakan istilah tertentu dengan makna metaforis yang sama sekali berbeda dari definisi kamus, membuat orang dewasa atau bahkan generasi yang sedikit lebih tua merasa tertinggal dan bertanya-tanya, "Apaan ngomongnya?"
Komunikasi digital—teks, email, atau komentar media sosial—secara inheren kekurangan isyarat non-verbal. Dalam percakapan tatap muka, nada suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh membantu kita menafsirkan maksud pembicara. Apakah mereka bercanda? Apakah mereka serius? Apakah mereka sarkastik? Tanpa petunjuk ini, teks polos seringkali disalahartikan atau diinterpretasikan secara literal, bahkan ketika maksudnya sepenuhnya ironis.
Misalnya, sebuah kalimat singkat yang dikirim melalui pesan instan mungkin terdengar datar. Jika dikirim oleh seseorang yang biasanya ceria, kita mungkin merasa ada yang salah. Jika dikirim oleh orang yang sedang marah, kita mungkin menganggapnya sebagai sindiran tajam. Ketidakjelasan inilah yang memicu rasa kebingungan dan respons internal "apaan ngomongnya." Kita dipaksa untuk mengisi kekosongan konteks dengan interpretasi kita sendiri, yang seringkali salah.
Untuk mengatasi kegaduhan linguistik ini, baik sebagai pembicara maupun pendengar, diperlukan usaha sadar. Bagi pembicara, kuncinya adalah kesadaran audiens. Selalu tanyakan pada diri sendiri: Apakah audiens saya berbagi kerangka acuan yang sama dengan saya? Jika tidak, prioritaskan kejelasan di atas jargon. Gunakan analogi sederhana atau jelaskan istilah teknis sebelum menggunakannya secara berulang.
Bagi pendengar, ketika rasa bingung muncul dan Anda berpikir, "Apaan ngomongnya?", jangan takut untuk bertanya. Cara yang paling sopan adalah dengan meminta klarifikasi, bukan konfrontasi. Anda bisa mengatakan, "Maaf, saya kurang familiar dengan istilah [X], bisakah Anda jelaskan sedikit lebih lanjut apa maksudnya dalam konteks ini?" Ini menunjukkan bahwa Anda tertarik untuk memahami, bukan menyerang gaya bicara mereka. Mengatasi hambatan komunikasi ini adalah langkah penting menuju kolaborasi dan pemahaman yang lebih baik, baik di kantor, di sekolah, maupun dalam interaksi sosial sehari-hari. Pada akhirnya, kejelasan adalah mata uang komunikasi yang paling berharga.