(Ilustrasi Kebingungan Digital)
Di era digital yang serba cepat ini, bahasa kita berevolusi dengan kecepatan yang menakutkan. Beberapa frasa muncul begitu saja, menjadi viral, dan mendominasi percakapan di media sosial, bahkan tanpa kita sepenuhnya memahami asal-usul atau konteks pastinya. Salah satu fenomena linguistik yang paling menarik perhatian akhir-akhir ini adalah pengulangan yang khas: apaan tuh apaan tuh apaan tuh.
Pengulangan tiga kali lipat ini—atau lebih—bukan sekadar kesalahan ketik. Ia adalah ekspresi spontanitas, keterkejutan, dan kadang-kadang, rasa kebingungan murni yang dialami oleh pengguna internet ketika menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Ketika seseorang pertama kali melihat tren baru, video aneh, atau komentar yang benar-benar di luar nalar, reaksi insting sering kali disederhanakan menjadi serangkaian pertanyaan singkat. Mengapa tiga kali? Dalam budaya internet, pengulangan sering kali menambah penekanan dramatis. Satu kali "Apaan tuh?" adalah pertanyaan, dua kali adalah sedikit keraguan, namun tiga kali (apaan tuh apaan tuh apaan tuh) adalah sebuah seruan kolektif.
Frasa ini berfungsi sebagai semacam ‘tombol reset’ emosional. Ia menandakan bahwa otak sedang memproses informasi baru yang memerlukan validasi dari komunitas. Apakah yang baru saja saya lihat itu nyata? Apakah orang lain melihat hal yang sama? Dengan mengetikkan serangkaian pertanyaan ini, pengguna secara efektif menarik perhatian orang lain untuk berbagi kebingungan atau konfirmasi. Ini adalah bahasa universal keheranan digital.
Meskipun sulit melacak secara pasti dari mana persisnya frasa ini bermula—seperti kebanyakan meme—kemungkinan besar ia berakar dari meme audio atau video pendek yang menekankan reaksi terkejut. Pengguna kemudian mengadopsinya sebagai respons cepat. Keuntungannya adalah universalitasnya; ia bisa digunakan untuk menanggapi hampir semua hal: dari fenomena alam yang aneh, gosip selebriti yang mengejutkan, hingga fitur aplikasi baru yang membingungkan.
Bayangkan Anda sedang menggulir linimasa TikTok atau Instagram Reels. Tiba-tiba, muncul video yang menampilkan sesuatu yang sangat tidak masuk akal—mungkin seorang tokoh publik melakukan sesuatu yang sangat tidak terduga. Reaksi pertama yang muncul di kolom komentar sering kali adalah rentetan emoji mata terbelalak diikuti oleh teks andalan: "apaan tuh apaan tuh apaan tuh". Ini menunjukkan bahwa frasa ini telah menjadi semacam *shorthand* emosional.
Secara linguistik, frasa ini telah bertransformasi dari sekumpulan pertanyaan menjadi sebuah interjeksi tunggal yang kuat. Dalam bahasa Indonesia formal, kita akan mengatakan "Apa itu?" atau "Apa yang sedang terjadi?". Namun, dalam komunikasi cepat di dunia maya, efisiensi adalah raja. "Apaan tuh" lebih ringkas, lebih kasual, dan memiliki nada yang lebih informal yang sesuai dengan suasana daring.
Pengulangan ini juga membawa unsur ritmis. Ritme tiga ketukan memberikan efek yang lebih memuaskan secara psikologis bagi pembaca. Ini bukan hanya sekadar mencari jawaban; ini adalah cara mengekspresikan tingkat kegelisahan atau ketidakpercayaan yang tinggi. Jika sesuatu benar-benar membingungkan, jawaban tunggal tidak cukup; perlu ada penekanan melalui repetisi. Kita perlu mengulang pertanyaan itu sampai otak kita—atau setidaknya komunitas kita—memberikan pemahaman kolektif.
Pada akhirnya, keberhasilan frasa seperti "apaan tuh apaan tuh apaan tuh" terletak pada kemampuannya menjembatani kesenjangan antara kejutan pribadi dan reaksi publik. Ini adalah pengakuan bahwa, ya, apa yang baru saja kita saksikan memang pantas untuk dipertanyakan secara berulang-ulang. Di tengah lautan konten yang terus mengalir, teriakan kebingungan kolektif ini menjadi jangkar yang menyatukan para pengguna internet dalam momen kekagetan bersama.
Apakah kita akan melihat evolusi berikutnya? Mungkin "apakah itu apaan tuh" atau mungkin pengulangan yang lebih panjang. Namun, untuk saat ini, trio "apaan tuh" tetap menjadi penanda utama ketidakpahaman yang paling menyenangkan di jagat maya.