Antroposentrisme, secara umum, merujuk pada pandangan filosofis yang menempatkan manusia sebagai pusat segala aktivitas, nilai, dan makna di alam semesta. Dalam konteks Barat, pandangan ini seringkali dihubungkan dengan konsep bahwa alam semesta diciptakan semata-mata untuk kepentingan dan pelayanan manusia. Namun, ketika meninjau konsep ini dalam bingkai ajaran Islam, nuansanya menjadi jauh lebih kompleks dan terdistorsi jika diterjemahkan secara harfiah.
Dalam Islam, konsep sentral yang paling relevan adalah status manusia sebagai Khalifah fil Ardh (wakil atau pelaksana mandat Allah di bumi). Ayat-ayat Al-Qur'an dengan jelas menunjukkan bahwa Allah SWT telah menundukkan segala sesuatu di langit dan bumi untuk kemaslahatan manusia (QS. Ibrahim [14]: 32-34). Ini menunjukkan superioritas ontologis manusia dibandingkan ciptaan lainnya dalam kapasitasnya sebagai agen moral dan bertanggung jawab.
Keistimewaan Manusia (Takrim)
Allah SWT menegaskan kemuliaan manusia dengan firman-Nya: "Sungguh, Kami telah memuliakan anak Adam..." (QS. Al-Isra’ [17]: 70). Kemuliaan ini tidak hanya terletak pada penciptaan dalam bentuk yang paling sempurna (ahsan taqwim), tetapi juga pada pemberian akal, kehendak bebas, dan wahyu. Keistimewaan ini sering menjadi dasar bagaimana antroposentrisme dipahami dalam diskursus Islam—bahwa manusia adalah penerima amanah tertinggi.
Pemahaman ini menempatkan manusia pada posisi sentral karena hanya manusialah yang dibebani kewajiban (taklif). Hewan dan tumbuhan menjalankan fungsi biologisnya tanpa pilihan moral, sementara manusia harus memilih antara ketaatan dan pembangkangan. Oleh karena itu, fokus utama wahyu dan interaksi ilahi adalah pada manusia sebagai subjek moral.
Batas Antroposentrisme: Tauhid dan Amanah
Meskipun manusia dimuliakan dan dijadikan pusat perhatian dalam tanggung jawab moral, Islam secara tegas menolak antroposentrisme murni yang menyamakan manusia dengan Tuhan atau yang menganggap alam semesta eksis tanpa tujuan selain melayani ego manusia. Prinsip fundamental Islam adalah Tauhid (Keesaan Allah), yang menempatkan Allah sebagai satu-satunya pusat segala eksistensi.
Konsep Khalifah tidak berarti hak untuk mengeksploitasi tanpa batas. Sebaliknya, ia adalah amanah (titipan) yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Jika manusia bertindak seolah-olah alam semesta adalah miliknya sepenuhnya, ini adalah bentuk kesyirikan praktis, karena mengabaikan hakikat bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan manusia hanyalah pemegang titipan.
Oleh karena itu, etika lingkungan dalam Islam, yang dikenal sebagai Mizan (keseimbangan) dan Ihsan (berbuat baik), membatasi klaim antroposentris. Manusia wajib menjaga kelestarian alam, bukan karena alam itu membutuhkan manusia, tetapi karena Allah memerintahkan demikian. Perusakan lingkungan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah kekhalifahan.
Perbedaan Kunci dengan Antroposentrisme Sekuler
Antroposentrisme sekuler modern sering kali mengarah pada hedonisme lingkungan, di mana nilai intrinsik alam hanya diukur dari manfaatnya bagi utilitas manusia (ekonomi, rekreasi). Dalam Islam, nilai alam bersifat ganda: ia memiliki nilai instrumental bagi manusia, tetapi juga nilai intrinsik sebagai tanda-tanda kebesaran Allah (Ayat).
Setiap pohon, setiap aliran air, dan setiap bintang adalah bukti keagungan Sang Pencipta. Melihat alam melalui lensa ini mengubah peran manusia dari sekadar "penguasa" menjadi "pelayan" yang bertugas memelihara keindahan dan keteraturan yang telah ditetapkan Allah. Tugas manusia adalah merefleksikan sifat-sifat Allah dalam pengelolaan bumi, bukan mendominasi atas nama kepentingannya sendiri.
Kesimpulannya, Islam menegaskan posisi manusia yang unik dan istimewa (sentralitas dalam tanggung jawab), tetapi menolak pandangan bahwa manusia adalah tujuan akhir penciptaan. Antroposentrisme dalam Islam harus selalu dibingkai oleh Teosentrisme, yaitu kesadaran bahwa segala sesuatu, termasuk kemuliaan manusia itu sendiri, berakar dan kembali kepada kehendak dan kekuasaan Ilahi.