Angkutan bajaj, yang secara teknis dikenal sebagai bemo roda tiga atau kendaraan niaga ringan, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap transportasi di banyak kota besar Indonesia. Kendaraan bermesin dua tak atau empat tak ini menawarkan solusi mobilitas yang fleksibel, terutama di jalan-jalan sempit yang sulit dijangkau oleh mobil konvensional atau bus kota. Kehadirannya mengisi kekosongan antara ojek motor dan taksi resmi, menjadikannya pilihan ekonomis bagi masyarakat.
Di masa lampau, popularitas bajaj meroket karena kemampuannya bermanuver lincah. Mereka mampu menembus kemacetan yang padat, seringkali menjadi penyelamat bagi komuter yang dikejar waktu. Meskipun kini bersaing ketat dengan layanan transportasi daring berbasis aplikasi, warisan dan relevansi bajaj di area tertentu—seperti pasar tradisional, kawasan industri kecil, atau gang-gang perumahan—tetap tak tergantikan. Pengemudi bajaj seringkali adalah warga lokal yang hafal betul setiap tikungan dan jalan pintas di wilayah operasinya.
Secara desain, bajaj sangat khas. Dengan kabin kecil yang biasanya menampung dua hingga tiga penumpang di belakang pengemudi, kendaraan ini identik dengan suara mesinnya yang unik dan kecepatan yang relatif lambat namun stabil. Warna dominan—seringkali kuning terang atau biru—membantu visibilitasnya di tengah hiruk pikuk lalu lintas.
Namun, seiring dengan perkembangan regulasi lingkungan dan peningkatan kesadaran publik, bajaj mengalami transformasi. Banyak operator kini beralih menggunakan bajaj berbahan bakar gas (BBG) atau bahkan varian listrik. Transisi ini bukan hanya respons terhadap tuntutan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga upaya untuk meningkatkan efisiensi operasional. Bahan bakar gas umumnya lebih murah dan menghasilkan polusi suara serta asap yang lebih sedikit dibandingkan mesin bensin lama, memberikan pengalaman berkendara yang sedikit lebih nyaman bagi penumpang.
Era transportasi berbasis aplikasi telah memberikan tantangan signifikan bagi eksistensi bajaj konvensional. Kemudahan pemesanan, transparansi tarif, dan jaminan ketersediaan melalui aplikasi membuat banyak konsumen beralih. Untuk bertahan, beberapa operator bajaj telah berupaya mengintegrasikan diri ke dalam ekosistem digital, meskipun prosesnya tidak selalu mulus karena isu tarif dan sistem pembayaran yang berbeda.
Isu keselamatan juga seringkali menjadi sorotan. Kapasitas penumpang yang terbatas dan struktur kendaraan yang terbuka menimbulkan kekhawatiran, terutama saat cuaca buruk atau di kecepatan tinggi. Oleh karena itu, pengawasan ketat dari dinas perhubungan menjadi krusial untuk memastikan bahwa setiap unit bajaj yang beroperasi memenuhi standar kelayakan jalan, mulai dari rem, lampu, hingga kondisi ban.
Meskipun demikian, bajaj tetap memegang tempat spesial di hati banyak warga. Ia melambangkan konektivitas lokal yang intim. Bagi pedagang kecil yang perlu mengangkut barang dalam jumlah sedang, atau bagi warga yang mencari alternatif murah untuk perjalanan jarak pendek di dalam gang kompleks, bajaj adalah jawaban yang paling praktis. Keberadaannya adalah cerminan nyata dari upaya adaptasi transportasi massal skala mikro di tengah modernisasi perkotaan yang serba cepat. Ke depannya, elektrifikasi dan integrasi teknologi digital akan menjadi kunci utama kelangsungan hidup ikon roda tiga ini.