Abuya Muhtadi, sosok ulama karismatik yang dihormati di berbagai kalangan, seringkali dikaitkan dengan dinamika kehidupan beragama dan sosial di Indonesia, terutama dalam konteks ormas Islam. Hubungannya dengan Barisan Ansor Serbaguna (Banser), sayap dari Nahdlatul Ulama (NU), merupakan salah satu aspek menarik yang mencerminkan sinergi antara kepemimpinan spiritual dan peran pengamanan nilai-nilai kebangsaan.
Abuya Muhtadi dikenal sebagai seorang figur pendidik dan pemikir Islam yang teguh memegang tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah. Pengaruh beliau sangat besar, khususnya di wilayah Banten dan sekitarnya. Karisma beliau tidak hanya datang dari garis keturunan keulamaan, tetapi juga dari konsistensinya dalam mengajarkan Islam yang moderat, toleran, dan mencintai tanah air.
Sebagai seorang kiai sepuh, nasihat dan pandangannya seringkali menjadi rujukan penting bagi para santri, ulama lain, serta masyarakat umum yang mencari ketenangan spiritual. Dalam konteks kebangsaan, pandangan beliau selalu selaras dengan pilar-pilar NKRI, menegaskan bahwa ajaran agama harus berjalan beriringan dengan keutuhan bangsa.
Banser memiliki peran ganda: mengamankan kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh NU dan berperan aktif dalam menjaga stabilitas nasional, terutama dalam menghadapi paham-paham radikal yang mengancam persatuan. Hubungan antara Abuya Muhtadi dengan Banser seringkali bersifat kultural dan dukungan moral.
Meskipun Abuya Muhtadi mungkin tidak secara struktural memimpin Banser, dukungan beliau terhadap organisasi yang menjaga tradisi Islam Nusantara sangat signifikan. Kehadiran Banser dalam acara-acara keagamaan yang dihadiri oleh beliau seringkali menjadi simbol apresiasi dan pengakuan atas peran vital mereka dalam menjaga ketertiban dan keamanan acara tersebut. Banser memandang figur seperti Abuya Muhtadi sebagai penjaga aqidah dan tradisi luhur yang harus dihormati dan diamankan.
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia menghadapi tantangan ideologis yang kompleks. Kehadiran ulama kharismatik seperti Abuya Muhtadi memberikan jangkar stabilitas. Beliau seringkali menyuarakan pentingnya persatuan umat dan menolak segala bentuk perpecahan yang dipicu oleh kepentingan politik praktis yang mengatasnamakan agama.
Dukungan dari elemen pengamanan seperti Banser menjadi semakin relevan ketika ada upaya-upaya yang mencoba mengganggu kedamaian dan stabilitas yang dijaga oleh para kiai dan ulama. Banser berfungsi sebagai garda terdepan non-militer untuk memastikan bahwa pengajian, dakwah, dan kegiatan keagamaan yang didukung oleh ulama dapat berjalan lancar tanpa intervensi negatif dari pihak luar.
Abuya Muhtadi dan Banser secara implisit bekerja sama dalam memperkuat narasi moderasi beragama di tingkat akar rumput. Ajaran yang disampaikan oleh Abuya Muhtadi menuntut penghormatan terhadap perbedaan dan pengamalan ibadah yang tidak ekstrem. Sementara itu, Banser memastikan bahwa ruang-ruang dakwah tersebut steril dari potensi gesekan sosial.
Kolaborasi ini, meskipun mungkin tidak selalu terorganisir dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) formal, terjalin kuat melalui loyalitas kultural dan kesamaan visi kebangsaan. Ini menunjukkan bahwa dalam menjaga Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dan Pancasila, dibutuhkan sinergi antara figur spiritual yang memberikan panduan hikmah dan organisasi massa yang siap mengambil peran pengamanan di lapangan. Kehadiran nama Abuya Muhtadi dalam diskursus publik kerap memunculkan rasa aman bagi para pengikutnya, yang juga merupakan basis dukungan utama bagi Banser.
Secara keseluruhan, hubungan Abuya Muhtadi dengan Banser adalah cerminan nyata dari struktur sosial keagamaan di Indonesia, di mana penghormatan terhadap otoritas spiritual bertemu dengan kesiapan organisasi untuk menjaga ketertiban dan keharmonisan sosial.