Visualisasi semangat pengabdian Banser.
Sumpah Banser bukan sekadar serangkaian kata yang diucapkan saat pelantikan. Ia adalah fondasi moral dan ideologis yang menopang eksistensi Barisan Ansor Serbaguna (Banser), salah satu badan otonom terbesar di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). Sumpah ini merangkum komitmen total kader terhadap tiga pilar utama: Agama (Islam Ahlussunnah wal Jama'ah), Bangsa (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI), dan Organisasi (NU).
Lahirnya Banser merupakan respons historis terhadap kebutuhan untuk menjaga keutuhan ajaran Islam yang moderat (ASWAJA) serta menjaga kedaulatan bangsa dari berbagai ancaman ideologi yang bertentangan. Setiap anggota Banser, setelah melewati proses pelatihan fisik dan mental yang ketat, diuji kesetiaannya melalui pengucapan sumpah ini. Prosesi ini menegaskan bahwa peran Banser jauh melampaui sekadar pengamanan fisik; mereka adalah garda terdepan penjaga ideologi.
Sumpah tersebut, yang seringkali diulang dalam berbagai kesempatan, berfungsi sebagai pengingat abadi akan tanggung jawab berat yang dipikul. Dalam konteks keindonesiaan yang majemuk, komitmen untuk membela NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 adalah imperatif yang tidak bisa ditawar lagi. Bagi Banser, Islam yang dianut harus selaras dengan kecintaan pada tanah air. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sebagaimana ditekankan dalam falsafah Hubbul Wathon Minal Iman (cinta tanah air sebagian dari iman).
Meskipun redaksi pastinya mungkin sedikit bervariasi antar angkatan atau wilayah, substansi inti dari sumpah Banser selalu berpusat pada ketaatan buta terhadap perintah Pimpinan Pusat (PP) NU dan komitmen untuk melaksanakan tugas demi kemaslahatan umat dan bangsa. Sumpah ini menuntut pengorbanan pribadi. Kader bersumpah untuk patuh, setia, dan siap mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa demi tegaknya nilai-nilai yang diyakini.
Aspek kerelaan berkorban ini sangat menonjol. Ini bukan sekadar pekerjaan sukarela biasa; ini adalah panggilan jiwa yang termanifestasi melalui janji suci. Tanpa sumpah ini, Banser hanya akan menjadi sekumpulan individu berseragam. Dengan sumpah, mereka terikat dalam satu visi kolektif yang didasari rasa persaudaraan (ukhuwah) Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah.
Sumpah Banser secara implisit juga membentuk kode etik yang sangat ketat. Setiap tindakan yang dilakukan seorang anggota Banser harus merefleksikan integritas dari sumpah yang telah diikrarkan. Pelanggaran terhadap sumpah dianggap sebagai pelanggaran disiplin tertinggi, karena ia merusak kepercayaan organisasi dan umat terhadap institusi tersebut. Disiplin ini vital, mengingat Banser sering kali berinteraksi langsung dengan masyarakat dalam situasi sensitif, mulai dari pengamanan ibadah hingga penanganan konflik sosial.
Kader yang telah bersumpah dituntut untuk menjadi contoh nyata dalam akhlakul karimah. Mereka harus mampu membedakan antara menjalankan tugas sebagai anggota Banser dengan kepentingan pribadi. Kesetiaan kepada kiai dan pemimpin NU adalah manifestasi dari kesetiaan pada ajaran ASWAJA yang diusung organisasi. Pada akhirnya, sumpah ini adalah janji spiritual yang mengikat dunia dan akhirat, memastikan bahwa dedikasi mereka murni berorientasi pada pelayanan, bukan kekuasaan atau materi.
Oleh karena itu, setiap kali istilah sumpah Banser disebutkan, hal itu seharusnya membangkitkan pemahaman bahwa di balik seragam loreng terdapat lapisan komitmen ideologis yang mendalam, yang terus dijaga dan dihidupkan melalui pengulangan ikrar suci tersebut dari generasi ke generasi. Komitmen ini menjadi jangkar kekuatan sosial yang tak ternilai bagi stabilitas keagamaan dan kebangsaan di Indonesia.