Ilustrasi Efek Penurunan Suhu Tubuh
Demam atau pireksia merupakan respons fisiologis alami tubuh terhadap berbagai kondisi patologis, seringkali sebagai akibat dari infeksi atau peradangan. Meskipun demam adalah mekanisme pertahanan, suhu tubuh yang terlalu tinggi dapat membahayakan, terutama pada anak-anak dan lansia. Oleh karena itu, penanganan simtomatik menggunakan agen antipiretik menjadi prosedur standar dalam praktik klinis dan farmakologi.
Praktikum ini bertujuan untuk mengamati, mengukur, dan mengevaluasi secara empiris efektivitas salah satu obat antipiretik umum (misalnya, Parasetamol atau Asam Asetilsalisilat) dalam menurunkan suhu tubuh pada model hewan coba yang diinduksi demam. Pemahaman mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik obat antipiretik sangat krusial untuk menentukan dosis terapeutik yang efektif namun aman.
Obat antipiretik bekerja terutama dengan menghambat sintesis prostaglandin (PG) di pusat termoregulasi otak, yaitu hipotalamus anterior. Peningkatan suhu tubuh (demam) diinduksi oleh pirogen endogen seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), yang merangsang produksi prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 kemudian menaikkan set-point suhu di hipotalamus.
Obat-obatan seperti NSAID (Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs) bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2), sehingga mengurangi produksi PGE2. Penurunan kadar PGE2 ini akan mengembalikan set-point suhu ke level normal, memicu mekanisme pendinginan seperti vasodilatasi perifer dan keringat, yang menghasilkan efek antipiretik.
Praktikum ini dilaksanakan menggunakan hewan coba (biasanya tikus putih) yang suhu tubuh basalnya telah dicatat. Demam diinduksi menggunakan agen pirogenik standar, seperti 2,4-Dinitrofenol (DNP) atau suspensi ragi steril yang disuntikkan secara intraperitoneal.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kelompok yang menerima obat antipiretik mengalami penurunan suhu tubuh yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Pada jam ke-3 pasca pemberian, suhu rata-rata pada kelompok perlakuan turun sebesar Z°C, sementara kelompok kontrol hanya menunjukkan fluktuasi kecil.
Efek antipiretik mulai terlihat sekitar 30-60 menit setelah pemberian, menunjukkan adanya absorpsi obat yang cepat ke dalam sirkulasi sistemik dan kemampuan obat untuk mencapai sistem saraf pusat (SSP) dan memengaruhi termoregulasi hipotalamus.
Meskipun obat ini efektif menurunkan demam, penting untuk dicatat bahwa obat antipiretik hanya mengatasi gejala, bukan penyebab dasar demam. Praktikum ini juga menekankan pentingnya dosis yang tepat; dosis yang terlalu rendah mungkin tidak efektif, sementara dosis berlebihan dapat menimbulkan efek samping toksik, terutama jika obat tersebut memiliki efek samping lain seperti iritasi lambung (pada NSAID) atau hepatotoksisitas (pada dosis tinggi Parasetamol).
Praktikum evaluasi farmakologi antipiretik berhasil membuktikan bahwa senyawa obat yang diuji memiliki kemampuan signifikan dalam menurunkan suhu tubuh hewan coba yang diinduksi demam. Mekanisme kerja utamanya melibatkan inhibisi sintesis prostaglandin di hipotalamus. Hasil ini mengonfirmasi prinsip dasar kerja obat antipiretik dalam tatalaksana demam.