Hakikat Ketidakpastian Pertolongan

Dalam hiruk pikuk kehidupan duniawi, manusia sering kali jatuh pada perangkap lupa diri. Kemudahan sesaat, keberhasilan materi, atau bahkan rasa aman yang dibangun melalui kekuatan dan jaringan, seringkali menimbulkan ilusi bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali penuh. Namun, ajaran fundamental dari berbagai keyakinan menegaskan satu kebenaran universal: Jangan merasa aman dari azab Allah (atau hukuman ilahi).

Ilustrasi Ketidakpastian

Godaan Rasa Aman Semu

Rasa aman yang palsu seringkali tumbuh subur di tengah kemewahan dan kelimpahan. Ketika seseorang berhasil mengumpulkan harta benda, memiliki kekuasaan politik, atau merasa dirinya sangat cerdas sehingga mampu memanipulasi keadaan, batas antara percaya diri dan kesombongan menjadi kabur. Mereka lupa bahwa segala pencapaian tersebut adalah titipan dan ujian. Sejarah peradaban kuno—dari Firaun hingga kekaisaran yang runtuh—memberikan pelajaran pahit bahwa kekuatan absolut hanyalah ilusi sementara.

Azab Allah, dalam konteks spiritual, tidak selalu dimaknai sebagai bencana fisik yang tiba-tiba datang. Ia bisa berupa perlahan-lahan hilangnya nikmat (istidraj). Istidraj adalah ketika seseorang terus menerus diberi kelancaran dalam perbuatan maksiatnya, hartanya bertambah, namun hatinya semakin jauh dari kebenaran. Ini adalah bentuk ujian yang jauh lebih berbahaya daripada hukuman langsung, sebab pelakunya merasa sedang berada di jalan yang benar karena segala urusannya dimudahkan.

Kewaspadaan adalah Kunci Iman

Iman yang sejati menuntut adanya tawazun (keseimbangan) antara harapan (raja') dan rasa takut (khauf). Menggantungkan harapan sepenuhnya pada rahmat tanpa disertai rasa takut akan konsekuensi perbuatan adalah bentuk kelalaian fatal. Sebaliknya, rasa takut yang melumpuhkan tanpa harapan juga tidak dianjurkan. Keseimbangan inilah yang mendorong seorang mukmin untuk terus berintrospeksi, memperbaiki diri, dan tidak pernah merasa bahwa posisinya sudah "aman" dari pengawasan Ilahi.

Peringatan ini berlaku bagi individu, kelompok, bahkan bangsa. Ketika sebuah komunitas menjadi sombong dengan kekuatannya, menindas yang lemah, dan melupakan nilai-nilai moralitas dasar, mereka sedang menimbun potensi kehancuran yang bisa datang kapan saja—bisa melalui bencana alam, keruntuhan ekonomi, atau perpecahan internal. Mereka mungkin menertawakan peringatan, namun hukum sebab-akibat ilahiah akan selalu berlaku.

Menggali Makna Azab

Azab dalam pandangan tauhid bukanlah sekadar hukuman yang datang dari luar, melainkan manifestasi dari ketidakselarasan batin dengan kebenaran hakiki. Ketika hati sudah tertutup oleh dosa dan kesombongan, maka ketenangan sejati pun hilang. Rasa gelisah, ketidakpuasan meskipun segala materi terpenuhi, dan ketakutan akan kehilangan kekuasaan adalah bentuk-bentuk azab batiniah yang sudah dialami jauh sebelum hukuman fisik (jika ada) tiba.

Oleh karena itu, kewaspadaan harus menjadi nafas kehidupan seorang yang beriman. Kewaspadaan ini diwujudkan melalui konsistensi dalam ibadah, ketegasan dalam menolak kezaliman, dan kerendahan hati saat menerima karunia. Jangan pernah terbuai oleh pujian manusia atau kemudahan yang datang bertubi-tubi. Setiap hembusan nafas adalah kesempatan untuk berbenah, bukan untuk merasa bahwa kita sudah mencapai titik akhir yang terjamin keselamatannya. Hidup ini adalah perjalanan menuju penilaian akhir, dan garis finis itu selalu diselimuti misteri waktu. Jangan merasa aman. Tetaplah waspada dan berlindung kepada Zat Yang Maha Kuasa.

Keamanan sejati hanya ditemukan dalam kepatuhan total dan pengakuan bahwa kerentanan kita sebagai makhluk ciptaan adalah realitas yang tak terhindarkan. Mengabaikan potensi azab adalah mengabaikan hakikat kekuasaan Tuhan.

🏠 Homepage