Hubungan antara demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) bukanlah sekadar hubungan kausalitas, melainkan sebuah simbiotik eksistensial. Demokrasi, sebagai sistem politik yang idealnya memungkinkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan, hanya dapat berfungsi secara etis dan berkelanjutan apabila ia didirikan di atas fondasi yang kokoh dari perlindungan HAM universal. Sebaliknya, hak asasi manusia, yang menjamin martabat dan kebebasan individu, hanya dapat terwujud sepenuhnya dalam konteks politik yang memberikan mekanisme bagi akuntabilitas, transparansi, dan pembatasan kekuasaan, yaitu ciri-ciri hakiki dari negara demokratis.
Demokrasi menjanjikan kedaulatan rakyat, sebuah konsep yang menuntut setiap individu diakui sebagai subjek yang memiliki nilai, bukan sekadar objek yang diatur. Pengakuan nilai intrinsik inilah yang merupakan inti dari HAM. Tanpa perlindungan terhadap hak-hak dasar, seperti kebebasan berekspresi, berkumpul, dan hak untuk tidak disiksa, kedaulatan rakyat hanyalah retorika kosong, karena rakyat tidak memiliki sarana untuk mengkritik, membentuk opini, atau mengubah kekuasaan yang represif. Oleh karena itu, demokrasi sejati harus dilihat sebagai bentuk pemerintahan yang terinternalisasi oleh norma-norma HAM; ia adalah metodologi politik untuk merealisasikan janji-janji universal mengenai martabat manusia.
Teks ini akan mengupas secara mendalam bagaimana dua pilar peradaban modern ini saling memperkuat dan menyokong satu sama lain. Kita akan menjelajahi prinsip-prinsip konseptual yang melandasi keduanya, mekanisme operasional yang menghubungkan keadilan politik dengan keadilan sosial, serta berbagai tantangan kontemporer yang menguji ketahanan sinergi antara kedaulatan mayoritas dan perlindungan minoritas. Pemahaman yang komprehensif atas dinamika ini esensial untuk pembangunan masyarakat yang tidak hanya stabil secara politik tetapi juga adil secara fundamental.
Demokrasi tanpa HAM berisiko menjadi tirani mayoritas yang dilegitimasi secara elektoral. Sebaliknya, HAM tanpa kerangka kerja demokrasi yang berfungsi akan mudah diabaikan oleh struktur kekuasaan yang sewenang-wenang. Interdependensi ini menegaskan bahwa kebebasan dan keadilan adalah dua sisi mata uang yang sama dalam proyek kemanusiaan modern.
Demokrasi modern, khususnya demokrasi konstitusional, jauh melampaui definisi sempit "aturan mayoritas." Prinsip-prinsip yang menopangnya harus mencakup elemen-elemen yang memastikan bahwa kekuasaan tidak pernah menjadi absolut dan selalu dapat dipertanggungjawabkan. Inti dari konsep ini terletak pada pembatasan kekuasaan (limited government) melalui kerangka hukum yang transparan dan proses partisipatif yang inklusif.
Pertama adalah Kedaulatan Rakyat (Popular Sovereignty). Ini berarti bahwa otoritas pemerintah berasal dari persetujuan rakyat. Persetujuan ini diwujudkan melalui pemilihan umum yang periodik, bebas, dan adil. Namun, kedaulatan rakyat harus dibingkai oleh Konstitusi yang melindungi hak-hak individu, memastikan bahwa rakyat, bahkan melalui proses mayoritas, tidak dapat mencabut hak-hak asasi individu atau minoritas yang dijamin secara universal. Mayoritas elektoral tidak memberikan mandat moral atau legal untuk menindas.
Kedua, Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers). Konsep yang dipopulerkan oleh Montesquieu ini bertujuan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dengan membaginya menjadi tiga cabang independen: Eksekutif (pelaksana), Legislatif (pembuat hukum), dan Yudikatif (penafsir hukum). Dalam konteks HAM, lembaga yudikatif memainkan peran krusial sebagai penjaga Konstitusi dan pelindung terakhir hak-hak warga negara dari potensi pelanggaran yang dilakukan oleh dua cabang kekuasaan lainnya. Kebebasan dan independensi yudikatif adalah prasyarat mutlak bagi realisasi HAM dalam negara demokratis.
Ketiga, Negara Hukum (Rule of Law). Ini adalah prinsip bahwa tidak ada seorang pun, termasuk penguasa, yang berada di atas hukum. Negara hukum menuntut agar semua tindakan pemerintah dilakukan berdasarkan hukum yang ditetapkan, dipublikasikan, dan diterapkan secara setara. Dalam kaitannya dengan HAM, Negara Hukum memastikan due process (proses hukum yang adil), menjamin bahwa individu tidak dapat ditahan atau dihukum tanpa dasar hukum yang jelas dan prosedur yang benar. Ini adalah benteng terhadap penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan, yang merupakan pelanggaran HAM paling mendasar.
Hak Asasi Manusia adalah hak inheren yang dimiliki setiap individu semata-mata karena mereka manusia, tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, bahasa, agama, atau status lainnya. Konsep universalitas HAM tertuang jelas dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang mengakui bahwa martabat yang melekat pada semua anggota keluarga manusia adalah fondasi kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia.
Untuk memahami kompleksitas HAM dalam negara demokratis, penting untuk membedakan antara generasi-generasi hak, meskipun dalam praktiknya semua hak ini saling terkait dan tidak terpisahkan (indivisible):
Demokrasi dan HAM bersinergi karena demokrasi menyediakan mekanisme institusional (pemilu, parlemen) untuk mewujudkan Hak Sipil dan Politik, sementara Konstitusi dan Yudikatif yang independen memastikan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dapat diperjuangkan dan dilindungi dari kebijakan pemerintah yang mungkin didominasi kepentingan sempit.
Hubungan antara konsep pemerintahan yang adil (demokrasi) dan hak-hak dasar manusia (HAM) berakar kuat pada periode Pencerahan. Filsuf seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau merumuskan teori Kontrak Sosial, yang menjadi dasar legitimasi politik modern. Menurut teori ini, individu menyerahkan sebagian kecil kebebasan mereka kepada negara hanya dengan syarat bahwa negara melindungi hak-hak 'alami' mereka, terutama hak atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan. Konsep ini secara tegas menempatkan HAM di atas kekuasaan negara.
Dokumen-dokumen revolusioner seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Prancis mengukuhkan ide bahwa hak adalah pra-politik (ada sebelum negara) dan karenanya tidak dapat dicabut (inalienable). Demokrasi, dalam konteks ini, menjadi alat untuk menjamin bahwa pemerintah selalu bertindak sesuai dengan tujuan utamanya: melindungi hak-hak yang diwarisi oleh individu sejak lahir.
Momen paling penting yang menyatukan secara eksplisit demokrasi dan HAM adalah trauma Perang Dunia Kedua. Kegagalan sistem politik (terutama totalitarianisme) untuk menghormati martabat manusia, yang berpuncak pada genosida dan kejahatan kemanusiaan, memicu konsensus global bahwa perdamaian internasional dan stabilitas domestik hanya mungkin tercapai jika hak-hak dasar diakui secara universal.
Pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan adopsi DUHAM pada tahun 1948 secara resmi mengkodifikasi pengakuan bahwa pelanggaran HAM adalah ancaman terhadap perdamaian dunia. Sejak saat itu, demokrasi tidak lagi hanya dipandang sebagai preferensi politik, tetapi sebagai persyaratan moral dan kelembagaan untuk menjamin ketaatan pada norma-norma HAM internasional. Demokrasi menjadi metode yang disukai karena ia memfasilitasi penggantian pemimpin tanpa kekerasan dan menyediakan jalur bagi korban pelanggaran untuk mencari keadilan.
Sinergi antara demokrasi dan HAM diwujudkan melalui serangkaian mekanisme kelembagaan yang dirancang untuk menciptakan keseimbangan antara kekuasaan pemerintah dan kebebasan individu. Pilar-pilar ini membentuk tulang punggung negara demokratis yang menghormati martabat manusia.
Independensi kekuasaan kehakiman adalah elemen HAM dan demokrasi yang tidak dapat ditawar. Tanpa pengadilan yang bebas dari pengaruh politik, hak-hak yang termaktub dalam konstitusi dan undang-undang hanya akan menjadi janji di atas kertas. Pengadilan berfungsi sebagai pengawas konstitusional (constitutional review), memastikan bahwa undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif atau keputusan eksekutif tidak melanggar HAM dasar.
Negara hukum, sebagai prinsip utama, memerlukan:
Penghormatan terhadap due process adalah demonstrasi nyata komitmen negara terhadap HAM. Ketika penahanan dilakukan tanpa surat perintah, atau ketika pengakuan diperoleh melalui penyiksaan, prinsip-prinsip demokrasi telah runtuh, dan negara telah berubah menjadi otoritarianisme yang disamarkan.
Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi (Pasal 19 DUHAM) merupakan hak politik utama yang memungkinkan demokrasi berfungsi. Kebebasan ini mencakup hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide dalam bentuk apa pun. Media massa yang bebas dan independen bertindak sebagai 'anjing penjaga' (watchdog) demokrasi, memantau tindakan pemerintah dan menyajikan informasi yang diperlukan bagi warga negara untuk membuat keputusan politik yang rasional dan terinformasi saat pemilihan.
Tanpa media yang bebas, mekanisme akuntabilitas akan lumpuh. Pemerintah yang korup atau represif akan dengan mudah menutupi pelanggarannya jika tidak ada pers yang berani menginvestigasi dan melaporkan. Oleh karena itu, serangan terhadap jurnalisme investigatif, sensor berlebihan, atau penggunaan undang-undang pencemaran nama baik untuk membungkam kritik, secara langsung merusak baik HAM maupun integritas proses demokratis.
Pemilihan umum adalah instrumen utama demokrasi, namun pemilu yang diselenggarakan secara formal tidak secara otomatis menjamin HAM terpenuhi. Agar pemilu benar-benar demokratis, ia harus memenuhi standar internasional yang ketat yang didasarkan pada hak asasi manusia politik:
Pelanggaran terhadap hak-hak politik ini, seperti gerrymandering yang diskriminatif, pembatasan pendaftaran pemilih yang menargetkan kelompok minoritas, atau kekerasan politik, adalah pelanggaran HAM yang serius yang secara langsung merusak legitimasi sistem demokrasi. Demokrasi yang sehat mengharuskan hak politik ini tidak hanya diakui secara hukum, tetapi juga dijamin pelaksanaannya secara praktis dan substantif.
Akuntabilitas adalah kewajiban pemerintah untuk menjelaskan dan membenarkan tindakannya kepada rakyat. Transparansi adalah prasyarat akuntabilitas, yang memerlukan akses publik terhadap informasi pemerintahan, catatan anggaran, dan proses pembuatan keputusan. Kedua prinsip ini berfungsi sebagai mekanisme anti-korupsi dan pencegah pelanggaran HAM.
Jika pemerintah dapat bertindak dalam kerahasiaan total, peluang untuk melakukan pelanggaran HAM, seperti penahanan rahasia, pengeluaran anggaran untuk proyek yang melanggar hak lingkungan, atau penyalahgunaan kekuasaan militer, akan meningkat drastis. Hukum mengenai kebebasan informasi dan keberadaan lembaga ombudsman atau komisi HAM yang independen adalah instrumen demokrasi yang memastikan hak warga negara atas pemerintahan yang jujur dan bertanggung jawab dipenuhi.
Meskipun terdapat fondasi filosofis dan kelembagaan yang kuat, sinergi antara demokrasi dan HAM terus menerus menghadapi tantangan baru dalam abad ini. Ancaman-ancaman ini seringkali muncul dalam bentuk yang dilegitimasi secara elektoral atau melalui manipulasi teknologi modern.
Populisme modern seringkali menggunakan retorika anti-elit untuk mendapatkan dukungan mayoritas. Meskipun populisme tidak selalu anti-demokrasi, ia seringkali beroperasi dengan logika yang merusak HAM. Pemimpin populis cenderung mengklaim bahwa mereka adalah 'suara murni rakyat' dan karenanya memiliki hak untuk mengabaikan institusi penengah seperti pengadilan, media, dan badan pengawas HAM, yang mereka cap sebagai 'elit yang korup' atau 'musuh rakyat'.
Erosi institusi adalah ancaman HAM yang paling halus. Ini melibatkan pelemahan bertahap terhadap independensi yudikatif, pemaksaan terhadap media, dan perubahan undang-undang pemilu untuk menguntungkan partai yang berkuasa. Proses ini, yang dikenal sebagai 'otokrasi elektoral', mempertahankan kulit luar demokrasi (pemilu masih diadakan) tetapi menghilangkan intinya (perlindungan HAM dan pemisahan kekuasaan). Dalam situasi ini, hak-hak minoritas dan kritikus menjadi sangat rentan.
Populisme seringkali mengeksploitasi HAM Generasi Pertama (kebebasan berbicara) untuk menyerang HAM Generasi Kedua dan Ketiga (hak migran, hak lingkungan), menciptakan polarisasi yang memecah belah masyarakat dan mempersulit tercapainya konsensus konstitusional yang diperlukan untuk melindungi semua hak secara setara. Ketika hak dianggap sebagai 'hadiah' dari mayoritas, bukan hak inheren universal, HAM kehilangan dasar filosofisnya.
Revolusi teknologi telah menciptakan dilema baru bagi demokrasi dan HAM. Di satu sisi, teknologi memfasilitasi partisipasi politik dan kebebasan berekspresi (misalnya, melalui media sosial). Di sisi lain, teknologi memberikan negara kemampuan pengawasan massal (mass surveillance) yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengancam hak atas privasi (Pasal 12 DUHAM).
Pengawasan yang tidak terkontrol dapat menciptakan 'efek pendinginan' (chilling effect), di mana warga negara mulai menyensor diri mereka sendiri karena takut kegiatan online atau komunikasi mereka dipantau. Hal ini secara langsung merusak kebebasan berekspresi dan berkumpul, yang merupakan prasyarat demokrasi. Penggunaan perangkat lunak mata-mata atau sistem identifikasi wajah oleh negara-negara, seringkali dengan dalih 'keamanan nasional', harus dibatasi secara ketat oleh kerangka hukum yang transparan dan tunduk pada pengawasan yudikatif yang kuat. Tanpa perlindungan privasi digital, partisipasi demokratis yang jujur menjadi sulit dipertahankan.
Selain itu, penyebaran disinformasi dan informasi yang manipulatif (hoaks) melalui platform digital menjadi ancaman serius bagi integritas pemilu. Ketika fakta tidak lagi dapat dibedakan dari fiksi, dasar pengambilan keputusan rasional dalam demokrasi terkikis, memungkinkan manipulasi opini publik yang dapat mengarah pada kebijakan yang melanggar HAM, seperti diskriminasi terhadap kelompok tertentu atau pembenaran terhadap tindakan represif.
Kesenjangan ekonomi yang ekstrem (ketimpangan) merupakan ancaman serius bagi realisasi HAM Generasi Kedua dan secara tidak langsung merusak demokrasi itu sendiri. Ketika kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, kelompok ini dapat menggunakan pengaruh ekonominya untuk memanipulasi proses politik, pendanaan kampanye, dan media, sehingga melemahkan prinsip 'satu orang, satu suara'.
Seseorang yang berjuang untuk mendapatkan makanan atau tempat tinggal akan sulit berpartisipasi secara efektif dalam debat publik atau menggunakan hak memilihnya secara maksimal. Demokrasi yang hanya melayani kepentingan kelas super kaya dan gagal menyediakan hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang layak, kehilangan legitimasi moralnya di mata rakyat. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi ketimpangan, menjamin hak atas pekerjaan yang adil, dan menyediakan jaring pengaman sosial bukan hanya isu sosial, tetapi merupakan imperatif HAM dan prasyarat bagi demokrasi yang stabil dan inklusif.
Realisasi penuh HAM memerlukan kerangka kerja yang solid, baik di tingkat domestik maupun internasional, yang berfungsi untuk memantau, mendokumentasikan, dan memberikan sanksi atas pelanggaran, sekaligus memastikan akuntabilitas pelaku.
Lembaga Hak Asasi Manusia Nasional (NHRI), seperti Komnas HAM, memainkan peran vital sebagai jembatan antara masyarakat sipil dan pemerintah. Ditetapkan melalui Prinsip-Prinsip Paris, NHRI harus independen, memiliki mandat yang luas, dan sumber daya yang memadai untuk melakukan fungsi-fungsi berikut:
Dalam sistem demokrasi, NHRI memastikan bahwa perhatian minoritas dan korban pelanggaran tidak tenggelam oleh hiruk pikuk politik mayoritas. Eksistensi dan keefektifan NHRI merupakan tolok ukur penting bagi kualitas HAM dalam suatu negara demokrasi.
Masyarakat sipil, termasuk organisasi non-pemerintah (LSM), serikat pekerja, dan kelompok agama, adalah motor penggerak tuntutan demokrasi dan HAM. Mereka berfungsi sebagai penyaring informasi, advokat, dan pelobi yang menekan pemerintah agar mematuhi standar domestik dan internasional. Kebebasan berserikat dan berkumpul, yang dijamin sebagai HAM, memungkinkan masyarakat sipil untuk beroperasi dan memainkan peran vitalnya sebagai penyeimbang kekuasaan negara.
Pembatasan terhadap ruang gerak masyarakat sipil, seperti regulasi pendanaan yang represif atau kriminalisasi aktivis, adalah tanda peringatan serius bahwa komitmen demokrasi dan HAM negara tersebut sedang melemah. Demokrasi yang matang harus memandang masyarakat sipil sebagai mitra kritis, bukan sebagai musuh yang harus dikekang.
Demokrasi modern tidak bisa dilepaskan dari tatanan hukum internasional. Konvensi-konvensi utama PBB, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), menetapkan standar HAM minimal yang harus dipatuhi oleh negara-negara yang telah meratifikasinya, termasuk negara-negara demokrasi.
Mekanisme PBB, seperti Dewan HAM PBB, Prosedur Khusus (Pelapor Khusus), dan mekanisme Tinjauan Periodik Universal (UPR), memberikan forum bagi negara-negara demokrasi untuk saling bertanggung jawab atas catatan HAM mereka. Meskipun hukum internasional seringkali kekurangan mekanisme penegakan yang kuat, ia memberikan tekanan moral dan politik, serta menyediakan kerangka hukum yang dapat digunakan oleh masyarakat sipil dan yudikatif domestik untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah.
Diskusi tentang demokrasi dan HAM harus bergerak dari demokrasi prosedural (hanya fokus pada pemilu) menuju demokrasi substantif. Demokrasi substantif terjadi ketika hasil dari proses politik tidak hanya sah secara prosedural tetapi juga secara etis adil dan memajukan kesejahteraan dan hak-hak semua warga negara.
Salah satu ujian terbesar bagi demokrasi adalah perlakuannya terhadap minoritas. Demokrasi seringkali disalahartikan sebagai pemerintahan mayoritas yang absolut, padahal intinya adalah pemerintahan konstitusional yang menjamin hak-hak yang tidak dapat diganggu gugat oleh mayoritas. Perlindungan minoritas—etnis, agama, linguistik, atau seksual—adalah indikator HAM paling sensitif.
Inklusivitas menuntut negara untuk secara aktif menghapus hambatan partisipasi yang dihadapi kelompok minoritas dan marjinal. Ini mencakup kuota representasi, pengakuan bahasa minoritas, dan undang-undang anti-diskriminasi. Demokrasi yang mengecualikan kelompok tertentu dari partisipasi yang setara adalah bentuk pemerintahan yang tidak stabil dan secara inheren melanggar prinsip kesetaraan HAM.
Agar demokrasi dapat berfungsi secara berkelanjutan dan menjamin HAM, warga negara harus memiliki literasi politik dan HAM yang tinggi. Pendidikan HAM bukan hanya tentang mengajarkan hukum dan konvensi, tetapi menanamkan budaya penghormatan, toleransi, dan pemikiran kritis.
Warga negara yang teredukasi dalam HAM akan lebih mampu:
Pendidikan ini adalah investasi jangka panjang untuk memperkuat fondasi moral masyarakat, memastikan bahwa generasi mendatang tidak menganggap remeh hak dan kebebasan yang diperjuangkan dengan susah payah.
Prinsip non-diskriminasi adalah jantung dari Hak Asasi Manusia, dan tanpa kesetaraan di hadapan hukum dan dalam praktik sosial, demokrasi akan kehilangan makna universalnya. Diskriminasi, baik berdasarkan ras, gender, agama, atau orientasi seksual, adalah antitesis dari nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi martabat setiap individu.
Demokrasi yang gagal menjamin kesetaraan gender adalah demokrasi yang cacat. Hak perempuan untuk memilih dan dipilih telah menjadi standar universal, namun representasi politik yang setara dan kebebasan perempuan dari kekerasan dan diskriminasi di ranah publik dan domestik masih merupakan tantangan besar. Realisasi HAM Generasi Pertama (hak politik) bagi perempuan tidak akan lengkap tanpa jaminan HAM Generasi Kedua (hak ekonomi, upah yang setara) dan perlindungan dari kekerasan yang bersifat gender. Negara demokratis harus secara proaktif menerapkan kebijakan afirmatif untuk mengatasi diskriminasi struktural dan memastikan bahwa suara perempuan didengar di setiap tingkat pengambilan keputusan.
Komitmen demokrasi terhadap HAM diuji paling keras dalam perlakuannya terhadap kelompok yang paling rentan, termasuk penyandang disabilitas, masyarakat adat, pengungsi, dan kelompok minoritas seksual. Perlindungan HAM menuntut lebih dari sekadar perlakuan yang sama; ia menuntut perlakuan yang adil, yang mengakui dan mengakomodasi kebutuhan unik kelompok-kelompok ini. Misalnya, hak atas partisipasi politik bagi penyandang disabilitas memerlukan penyediaan fasilitas pemungutan suara yang dapat diakses (accessibility) dan materi kampanye yang sesuai. Ini adalah contoh di mana demokrasi prosedural harus didukung oleh intervensi positif HAM untuk menciptakan kesetaraan substantif.
Pengabaian terhadap hak-hak kelompok marjinal seringkali merupakan hasil dari kegagalan proses demokratis untuk mewakili mereka secara memadai, atau bahkan merupakan manifestasi dari tirani mayoritas yang membenarkan penindasan berdasarkan preferensi budaya atau agama. Negara demokratis sejati harus memiliki mekanisme konstitusional dan hukum yang kuat untuk menantang kebijakan yang diskriminatif, bahkan jika kebijakan tersebut didukung oleh opini publik mayoritas.
Demokrasi dan Hak Asasi Manusia adalah dua konsep yang tidak hanya saling melengkapi tetapi juga saling mengkondisikan. Demokrasi menyediakan mekanisme partisipasi, akuntabilitas, dan pembatasan kekuasaan yang esensial untuk mencegah pelanggaran HAM oleh negara. Sementara itu, Hak Asasi Manusia memberikan kerangka moral dan hukum yang mendefinisikan batas-batas kekuasaan mayoritas, memastikan bahwa martabat individu tetap terlindungi terlepas dari hasil pemilu.
Keberlanjutan dan kualitas demokrasi modern harus diukur bukan hanya dari seberapa sering pemilu diadakan, tetapi dari sejauh mana hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya semua warganya dijamin dan dihormati. Ketika suatu negara mulai membatasi kebebasan berbicara, melemahkan independensi pengadilan, atau mengabaikan hak-hak minoritas, ia tidak hanya gagal dalam HAM; ia sedang dalam proses bunuh diri politik sebagai negara demokratis.
Dalam menghadapi tantangan globalisasi, populisme, dan teknologi, tugas memperkuat sinergi ini menjadi semakin mendesak. Hal ini membutuhkan komitmen berkelanjutan dari pemerintah untuk menjunjung tinggi negara hukum, dari masyarakat sipil untuk tetap waspada dan vokal, dan dari setiap individu untuk menuntut pertanggungjawaban dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal yang mendasari martabat setiap manusia. Hanya dengan demikian, janji kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dapat benar-benar diwujudkan melalui kemitraan abadi antara demokrasi dan hak asasi manusia.
Penguatan institusi demokrasi, pemberdayaan masyarakat sipil, dan penegasan kembali supremasi hukum adalah langkah-langkah nyata yang harus dilakukan secara berkelanjutan. Tidak ada akhir bagi perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang adil; itu adalah proses yang terus menerus dan berulang, sebuah mandat moral yang harus diemban oleh setiap generasi.