Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penyusunan APBD bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah proses strategis yang menentukan arah kebijakan fiskal, alokasi sumber daya, dan prioritas pembangunan suatu wilayah selama satu tahun ke depan. Kesalahan dalam penyusunan dapat berdampak pada stagnasi program pembangunan dan ketidaktepatan sasaran pelayanan publik.
Secara garis besar, cara penyusunan APBD diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, melibatkan sinkronisasi antara perencanaan makro daerah (RPJMD/RKPD) dengan kemampuan fiskal daerah. Proses ini menuntut transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik yang kuat.
Proses penyusunan APBD melibatkan beberapa tahapan yang harus dilalui secara sistematis dan berurutan. Memahami setiap tahapan sangat krusial untuk memastikan legitimasi dan kualitas anggaran yang dihasilkan.
Tahap awal ini dimulai dengan penetapan KUA yang memuat proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja prioritas, dan informasi mengenai pembiayaan. Dokumen ini menjadi acuan utama bagi seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam menyusun rencana kerja dan anggaran mereka. PPAS kemudian menetapkan pagu indikatif belanja untuk masing-masing SKPD.
Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam PPAS, setiap SKPD menyusun RKA-SKPD. Dokumen ini merinci program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, termasuk kebutuhan alokasi dana per program. RKA-SKPD harus selaras dengan sasaran kinerja yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan daerah.
Setelah RKA-SKPD terkumpul, tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) melakukan pembahasan dan verifikasi menyeluruh. Tujuannya adalah memastikan tidak ada tumpang tindih anggaran, tidak ada kegiatan di luar prioritas, dan semua usulan anggaran realistis serta efisien. Proses ini seringkali melibatkan negosiasi intensif antara SKPD dan TAPD.
Hasil final dari verifikasi dan finalisasi anggaran kemudian disusun menjadi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. Ranperda ini adalah dokumen resmi yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas lebih lanjut.
Ranperda APBD dibahas bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD melalui mekanisme rapat kerja dan sidang paripurna. DPRD memiliki hak untuk meminta klarifikasi atau bahkan melakukan penyesuaian berdasarkan fungsi pengawasan dan legislasi mereka. Penetapan dilakukan melalui persetujuan bersama yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) APBD.
Penyusunan APBD modern harus beranjak dari paradigma anggaran tradisional menuju penganggaran berbasis kinerja (Performance-Based Budgeting). Ini berarti setiap rupiah yang dialokasikan harus dapat dipertanggungjawabkan dari sisi luaran (output) dan dampak (outcome) yang dihasilkan bagi masyarakat.
Pertama, Sinkronisasi dengan RKPD. APBD harus menjadi cerminan nyata dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Jika prioritas pembangunan adalah infrastruktur, maka alokasi dana untuk sektor tersebut harus signifikan dan terukur.
Kedua, Pengendalian Belanja. Efektivitas APBD sangat ditentukan oleh kemampuan menahan laju belanja rutin yang tidak produktif. Prioritas harus diberikan pada belanja modal dan belanja barang/jasa yang menunjang pencapaian target pembangunan.
Ketiga, Prinsip Kehati-hatian (Prudence). Dalam memproyeksikan pendapatan, terutama pendapatan asli daerah (PAD) atau dana transfer, pemerintah daerah harus bersikap konservatif. Jangan sampai asumsi pendapatan yang terlalu optimistis menyebabkan defisit atau kekurangan kas saat pelaksanaan anggaran berlangsung.
Proses yang transparan dan partisipatif adalah benteng terakhir untuk memastikan bahwa APBD yang disusun benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat. Keterlibatan publik dalam tahap musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) memastikan bahwa anggaran tidak hanya disusun 'oleh' pemerintah, tetapi juga 'untuk' rakyat.