Antibodi monoklonal (mAb) adalah jenis protein yang diproduksi di laboratorium untuk menargetkan secara spesifik satu antigen atau epitop tertentu. Teknologi ini merevolusi bidang diagnostik dan terapi medis, terutama dalam pengobatan kanker, penyakit autoimun, dan infeksi. Proses pembuatannya, yang sering melibatkan teknologi hibridoma, memerlukan ketelitian tinggi dan serangkaian langkah bioteknologi yang kompleks.
Memahami cara membuat antibodi monoklonal adalah kunci untuk mengapresiasi peran vitalnya dalam biologi modern. Berikut adalah tahapan inti dari proses yang dikembangkan oleh Georges Köhler dan César Milstein.
Langkah awal adalah memicu respons imun pada hewan inang, umumnya tikus atau kelinci. Hewan tersebut disuntikkan dengan antigen target yang diinginkan—zat asing yang ingin dilawan oleh antibodi. Antigen ini bisa berupa protein dari sel kanker, bagian virus, atau molekul tertentu.
Dalam tubuh hewan, sel B limpa akan mengenali antigen tersebut dan mulai memproduksi berbagai macam antibodi (poliklonal). Namun, untuk antibodi monoklonal, kita hanya membutuhkan sel B yang menghasilkan antibodi spesifik yang diinginkan.
Setelah respons imun terbentuk (beberapa minggu setelah imunisasi), limpa hewan diambil. Dari limpa ini, diisolasi sel B penghasil antibodi. Namun, sel B yang sudah matang memiliki keterbatasan: mereka tidak dapat hidup dan membelah diri (berproliferasi) dalam kultur laboratorium dalam jangka waktu lama.
Oleh karena itu, sel B ini perlu digabungkan (difusikan) dengan sel kanker yang disebut sel mieloma. Sel mieloma dipilih karena memiliki kemampuan membelah diri tanpa henti (immortalitas) di laboratorium, namun mereka tidak mampu memproduksi antibodi.
Proses penggabungan sel B dan sel mieloma disebut fusi. Biasanya, zat pemicu fusi seperti Polyethylene Glycol (PEG) digunakan untuk membantu membran kedua jenis sel menyatu. Hasil dari fusi ini adalah populasi sel heterogen:
Ini adalah tahap krusial dalam cara membuat antibodi monoklonal. Kita perlu memisahkan hibridoma yang berguna dari sel lain. Seleksi dilakukan menggunakan medium kultur khusus yang disebut medium HAT (Hypoxanthine-Aminopterin-Thymidine).
Medium HAT dirancang sedemikian rupa sehingga hanya sel mieloma yang memiliki jalur metabolisme tertentu yang dapat bertahan hidup. Namun, karena sel mieloma yang digunakan telah dimanipulasi untuk kekurangan enzim tertentu, mereka tidak dapat tumbuh dalam medium HAT. Hanya sel hibridoma yang memiliki jalur enzim lengkap (diwarisi dari sel B) yang dapat bertahan hidup dan membelah diri.
Setelah seleksi awal, kultur hibridoma diperiksa untuk memastikan antibodi mana yang benar-benar menghasilkan antibodi target spesifik. Pengujian ini biasanya menggunakan teknik ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay).
Sel-sel yang terbukti positif kemudian diencerkan secara ekstrem (ditanam pada konsentrasi 1 sel per sumur) untuk memastikan bahwa setiap populasi yang tumbuh berasal dari satu sel hibridoma tunggal. Inilah yang menjamin sifat "monoklonal" dari produk akhir.
Setelah klon tunggal yang ideal ditemukan, sel hibridoma ini dapat dikembangbiakkan dalam jumlah besar. Produksi bisa dilakukan secara in vivo (disuntikkan ke tikus untuk menghasilkan cairan asites kaya antibodi) atau lebih umum secara in vitro (menggunakan bioreaktor besar).
Antibodi yang dihasilkan dari kultur kemudian harus melalui proses pemurnian yang ekstensif (kromatografi) untuk menghilangkan kontaminan seluler, protein lain, dan zat sisa media kultur, hingga mencapai standar kemurnian farmasi yang diperlukan untuk aplikasi terapeutik pada manusia. Keberhasilan pemurnian sangat menentukan keamanan dan efikasi produk akhir.
Teknologi antibodi monoklonal terus berkembang, dengan metode baru seperti teknik phage display dan rekayasa genetik yang memungkinkan pembuatan mAb manusia secara langsung tanpa melalui hewan inang, yang secara signifikan mengurangi risiko reaksi imunologis saat digunakan dalam terapi.