Dalam ikatan pernikahan, tanggung jawab finansial atau nafkah adalah salah satu pilar utama yang ditetapkan baik secara norma sosial maupun ajaran agama. Kewajiban memberikan nafkah bukan hanya sekadar pemberian materi, tetapi manifestasi dari komitmen, kasih sayang, dan peran sebagai pemimpin rumah tangga yang melindungi. Ketika seorang suami secara sengaja dan terus-menerus mengabaikan kewajibannya menafkahi istri dan anak-anaknya, ia tidak hanya melanggar janji suci pernikahan, tetapi juga membuka pintu bagi konsekuensi berat yang sering disebut sebagai "azab".
Beban Spiritual dan Kehidupan Duniawi
Konsekuensi dari tidak memberikan nafkah dapat dirasakan dalam dua dimensi: duniawi dan ukhrawi. Dalam kehidupan duniawi, pengabaian nafkah sering kali menimbulkan penderitaan nyata bagi istri dan anak-anak. Mereka terpaksa menanggung beban hidup tanpa sandaran yang seharusnya disediakan oleh suami. Kemiskinan, kesulitan pendidikan, hingga tekanan psikologis adalah dampak langsung yang sering terjadi.
Secara spiritual, dalam perspektif banyak keyakinan, termasuk Islam, menelantarkan tanggung jawab adalah dosa besar. Harta yang diperoleh dari hasil kerja keras seorang suami, jika tidak digunakan untuk menopang kebutuhan dasar keluarga, dianggap menjadi penghalang berkah. Keberkahan dalam hidup akan terkikis, dan rezeki yang seharusnya bertambah justru bisa terasa menyempit karena terhalangnya kewajiban dasar.
Ancaman di Hari Penghakiman
Artikel-artikel keagamaan sering kali menekankan bahwa pertanggungjawaban di akhirat sangat ketat terkait urusan hak orang lain, terutama hak keluarga. Seorang suami akan dituntut mempertanggungjawabkan setiap rupiah yang seharusnya menjadi hak istri dan anaknya. Jika istri hidup dalam kesulitan akibat kelalaian suami, maka tuntutan tersebut akan menjadi beban berat di hadapan Sang Pencipta. Di akhirat, tidak ada lagi alasan menunda atau berkelit; pertanggungjawaban atas penelantaran nafkah adalah tuntutan mutlak.
Hal ini diperkuat dengan prinsip bahwa setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Suami adalah pemimpin keluarga, dan kelalaian dalam menyediakan kebutuhan dasar dianggap sebagai kegagalan dalam memimpin. Azab yang dimaksud bukanlah hanya berupa hukuman langsung di dunia, melainkan juga hilangnya ketenangan batin, terhalangnya doa, dan ancaman hukuman yang lebih besar di kehidupan setelah kematian.
Dampak Psikologis dan Kehancuran Keluarga
Selain dimensi spiritual, dampak psikologis dari suami yang tidak menafkahi sangat merusak struktur keluarga. Istri yang merasa terkhianati haknya sering kali mengalami stres berkepanjangan, depresi, dan kehilangan rasa hormat terhadap suaminya. Hubungan pernikahan yang seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan dan saling melengkapi, berubah menjadi hubungan yang penuh ketegangan dan kebencian.
Kehancuran rumah tangga sering kali berawal dari titik ini. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang tidak stabil, yang dapat membentuk karakter mereka di masa depan. Fenomena ini menunjukkan bahwa azab tidak hanya menimpa sang suami secara personal di akhirat, tetapi juga menciptakan efek domino penderitaan yang meluas ke seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu, menunaikan kewajiban nafkah adalah bentuk ibadah yang krusial, dan mengabaikannya adalah jalan menuju kerugian besar.