Dalam ajaran agama dan norma sosial yang berlaku di masyarakat, seorang ayah memegang peran sentral sebagai kepala rumah tangga dan penanggung jawab utama dalam memberikan nafkah. Kewajiban ini bukan sekadar urusan materi, melainkan manifestasi nyata dari cinta, perlindungan, dan amanah yang dipikulkan kepadanya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai azab seorang ayah yang tidak menafkahi anaknya sering kali menjadi topik serius yang menggugah hati nurani.
Nafkah mencakup segala kebutuhan dasar hidupāmakanan, pakaian, tempat tinggal, serta pendidikan dan kasih sayang. Ketika seorang ayah secara sengaja dan tanpa alasan yang dibenarkan mengabaikan tanggung jawab ini, ia tidak hanya melanggar hak dasar anaknya, tetapi juga menentang kodratnya sendiri sebagai pelindung keluarga. Tindakan pengabaian ini membawa konsekuensi yang berlapis, baik di dunia maupun di akhirat.
Secara hukum fikih, menelantarkan anak adalah dosa besar. Islam sangat menekankan pentingnya keadilan dalam perlakuan terhadap anak-anak. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa seseorang dianggap berdosa jika menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya. Ketika azab seorang ayah yang tidak menafkahi anaknya dibahas, fokus utamanya adalah dampak spiritual dan moral dari pengkhianatan amanah tersebut.
Dampak paling cepat terlihat dari ketiadaan nafkah adalah penderitaan anak-anak. Anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan akibat kelalaian ayah cenderung mengalami hambatan perkembangan psikologis. Rasa kurang aman, rendah diri, kecemasan, dan bahkan potensi terlibat dalam perilaku destruktif sering kali menjadi bayangan yang mengikuti mereka. Ini adalah bentuk luka batin yang sulit disembuhkan, yang diciptakan oleh tangan orang yang seharusnya menjadi sumber kekuatan mereka.
Di mata masyarakat, ayah yang tidak menafkahi sering dicap sebagai sosok yang tidak bertanggung jawab, tercela, dan gagal dalam peran fundamentalnya. Citra ini melekat dan dapat merusak reputasi keluarga secara keseluruhan. Ironisnya, kegagalan ayah dalam memberikan nafkah sering kali justru menimbulkan beban ganda bagi ibu yang harus berjuang sendirian.
Dalam perspektif spiritual, pengabaian nafkah dipandang sebagai bentuk penzaliman (ketidakadilan) yang berat. Banyak teks keagamaan yang menggarisbawahi bahwa harta yang seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarga, jika ditahan atau disalahgunakan, akan menjadi saksi atas kelalaian tersebut di hari perhitungan. Ketika pertanyaan mengenai hak-hak anak diajukan di hadapan Yang Maha Kuasa, ayah yang lalai tidak akan mudah lolos dari pertanggungjawaban.
Azab seorang ayah yang tidak menafkahi anaknya bukan hanya berupa siksaan fisik di akhirat, tetapi juga berupa kehampaan spiritual di dunia. Rasa damai yang seharusnya didapatkan dari memenuhi kewajiban agama dan kemanusiaan akan hilang. Ayah tersebut hidup dalam bayang-bayang penyesalan yang mungkin baru muncul ketika ia telah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Kisah-kisah mengenai ayah yang meninggalkan keluarganya tanpa bekal hidup sering kali menjadi pengingat keras. Mereka yang tadinya memiliki kemampuan finansial namun memilih untuk lari dari tanggung jawab sering kali mengalami kejatuhan dalam hidup mereka sendiri. Entah itu kerugian bisnis, kegagalan dalam hubungan lain, atau kesendirian di usia senja, semua itu bisa diinterpretasikan sebagai buah dari benih ketidakadilan yang mereka tanam di masa lalu.
Tanggung jawab seorang ayah adalah komitmen seumur hidup, bukan hanya selama ikatan pernikahan berlangsung. Mengabaikannya adalah memilih jalan yang penuh risiko spiritual dan sosial. Keluarga adalah amanah suci; melalaikannya berarti menantang takdir dan hukum alam yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, kesadaran penuh akan beratnya kewajiban ini adalah langkah awal untuk menghindari konsekuensi pedih dari azab seorang ayah yang tidak menafkahi anaknya.
Setiap rupiah yang diperoleh harus diperjuangkan untuk kesejahteraan mereka yang menjadi tanggungan. Hanya dengan menjalankan amanah ini secara utuh, seorang ayah dapat mengharapkan keberkahan hidup dan ketenangan di hadapan Tuhan.