Nabi Idris AS merupakan salah satu nabi agung yang kisahnya disebutkan secara ringkas namun penuh makna dalam Al-Qur'an. Dikenal sebagai orang yang sangat cerdas, alim, dan diangkat ke tempat yang sangat tinggi oleh Allah SWT. Mayoritas mufasir sepakat bahwa Nabi Idris adalah keturunan dari Syits bin Adam. Ia hidup pada masa di mana manusia mulai menyimpang dari tauhid murni yang diajarkan oleh Nabi Adam dan Nabi Nuh. Salah satu keistimewaan yang paling masyhur tentang beliau adalah pengangkatannya ke surga saat ia masih hidup, sebuah kehormatan yang luar biasa.
Namun, sebelum kemuliaan tersebut diberikan, Nabi Idris dikenal karena keteguhan hatinya dalam menyeru kaumnya untuk meninggalkan kesesatan. Ia berdakwah dengan sabar, menjelaskan konsekuensi dari perbuatan mereka. Kaumnya pada saat itu cenderung tenggelam dalam kemewahan, menyembah berhala, dan melupakan perintah Allah. Kehidupan yang hedonis dan penolakan terhadap kebenaran adalah benih dari azab yang akan datang.
Setiap nabi diutus sebagai rahmat sekaligus peringatan. Nabi Idris AS telah menyampaikan risalah dengan jelas, menunjukkan jalan yang lurus. Sebagaimana umumnya kaum yang membangkang, penolakan kaum Nabi Idris semakin menjadi-jadi. Mereka menertawakan ancaman azab dan merasa aman dalam kekuatan duniawi mereka. Dalam narasi keislaman, azab bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba tanpa peringatan. Allah selalu memberikan jeda waktu (istidraj) bagi mereka yang menolak untuk bertaubat.
Nabi Idris, melihat kesombongan kaumnya yang telah melampaui batas, memohon kepada Allah agar menurunkan azab kepada mereka yang keras kepala. Azab ini dipahami bukan sebagai hukuman yang menimpa Nabi Idris sendiri, melainkan sebagai pembersihan dari kaum yang ingkar agar ajaran tauhid tetap lestari di antara keturunan yang tersisa. Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa setelah azab ditimpakan kepada kaumnya, Allah SWT kemudian mengangkat derajat Nabi Idris.
Istilah "azab" dalam konteks ini merujuk pada konsekuensi logis dari penolakan mereka terhadap wahyu. Ketika manusia memilih jalan kehancuran (kesyirikan, kezaliman, dan penindasan), maka kehancuran itu sendiri menjadi azab mereka. Bagi kaum Nabi Idris, azab ini bisa berupa kekeringan hebat, wabah penyakit, atau bahkan bencana alam yang menghancurkan tatanan hidup mereka yang sudah terlanjur menyimpang. Kehancuran duniawi ini seringkali menjadi cara Allah untuk menegakkan keadilan dan memberikan pelajaran abadi bagi generasi setelahnya.
Setelah kaum yang zalim dihukum, atau setelah beliau menyelesaikan tugas kenabiannya di muka bumi, Allah memberikan keistimewaan tertinggi kepada Nabi Idris. Beliau diangkat ke langit, bahkan ada riwayat yang menyebutkan beliau masih hidup hingga kini di surga atau di langit keempat/keenam. Pengangkatan ini adalah puncak dari kesalehan, kesabaran, dan ketaatan totalnya kepada Sang Pencipta. Kisah azab bagi kaumnya adalah latar belakang kemuliaan bagi Nabi Idris.
Pelajaran utama yang dapat kita ambil adalah bahwa kenikmatan duniawi tidak menjamin keselamatan. Kesombongan dalam menghadapi kebenaran adalah jalan tercepat menuju kehancuran. Sebaliknya, ketaatan dan keteguhan hati, seperti yang ditunjukkan Nabi Idris, akan berbuah kemuliaan yang melampaui pemahaman akal manusiawi. Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan azab Allah adalah nyata bagi mereka yang memilih untuk menentang petunjuk-Nya.
Oleh karena itu, sejarah Nabi Idris menjadi mercusuar moral; seorang rasul yang menyaksikan bagaimana kesombongan kaumnya berujung pada kehancuran, sementara kesabarannya berujung pada pengangkatan ilahi. Ini adalah pengingat abadi tentang pentingnya bersyukur dan menjauhi kesesatan sebelum terlambat.