Ilustrasi: Peringatan akan Pertanggungjawaban Akhirat
Dunia kerja modern menempatkan profesi pegawai bank pada posisi yang memiliki pengaruh besar terhadap perputaran harta. Mereka adalah penjaga gerbang keuangan, pengelola dana nasabah, dan pelaksana kebijakan yang seringkali bersinggungan langsung dengan masalah halal dan haram. Namun, kemewahan materi dan tekanan profesional seringkali membuat sebagian dari mereka melupakan satu hal fundamental: kehidupan setelah kematian, khususnya azab kubur.
Menjadi pegawai bank berarti berhadapan dengan segala bentuk transaksi, mulai dari pinjaman berbunga tinggi (riba) hingga praktik-praktik investasi yang keruh. Islam memandang harta yang didapatkan dengan cara yang dilarang sebagai sumber kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat. Jika seorang pegawai bank dengan sengaja memfasilitasi atau mengambil keuntungan dari transaksi yang haram, pertanyaannya adalah: bagaimana pertanggungjawabannya saat jasadnya terpisah dari ruh?
Iman mengajarkan bahwa kubur adalah alam persinggahan pertama menuju kehidupan abadi. Di sana, amal perbuatan duniawi akan ditimbang. Bagi mereka yang pekerjaannya melibatkan penipuan, penggelapan dana nasabah, atau mempermudah riba, siksaan kubur adalah ancaman serius yang ditegaskan dalam banyak riwayat. Nabi Muhammad SAW telah memberikan peringatan keras mengenai bahaya harta haram.
Saat seorang pegawai bank dikuburkan, ia akan dihadapkan oleh dua malaikat agung, Munkar dan Nakir. Pertanyaan yang diajukan tidak mengenal jabatan atau pangkat duniawi. Mereka akan ditanya tentang Tuhannya, Nabinya, dan agamanya. Namun, pertanyaan lanjutan seringkali menyangkut bagaimana ia mencari nafkah dan menggunakan amanah yang diembannya.
Bayangkan seorang pegawai yang selama hidupnya sibuk mengejar target bonus dari produk-produk yang merugikan nasabah kecil. Di dalam kegelapan kubur, ketika ia ditanya tentang sumber penghidupannya, keragu-raguan dan ketakutan akan menjadi siksaan awal. Kegelapan kubur akan terasa semakin pekat jika yang bersangkutan menyadari bahwa kekayaan yang dikumpulkannya adalah hasil dari ketidakadilan finansial.
Azab kubur digambarkan sebagai pelecehan fisik dan psikologis yang mengerikan. Bagi mereka yang melakukan kezaliman finansial, siksaan bisa berupa sempitnya liang lahat, dingin yang menusuk, hingga kehadiran api atau ular-ular yang menyengat, sesuai kadar kesalahannya.
Peringatan tentang azab kubur ini seharusnya menjadi motivasi terbesar bagi setiap pegawai bank muslim untuk membersihkan sumber penghasilannya. Transisi menuju perbankan syariah bukanlah sekadar tren, melainkan sebuah keharusan bagi mereka yang ingin menyelamatkan diri dari murka Ilahi. Bertaubat dari praktik-praktik yang meragukan adalah langkah pertama yang krusial.
Tanggung jawab moral seorang pegawai bank sangat besar. Mereka memegang amanah kepercayaan yang nilai hartanya bisa menghancurkan jiwa jika didapatkan dengan cara yang salah. Kehidupan di dunia ini hanyalah sebentar, sementara pertanggungjawaban di alam kubur dan akhirat bersifat kekal. Oleh karena itu, kesadaran spiritual harus lebih besar daripada tuntutan profit duniawi.
Mengutamakan kejujuran, transparansi, dan menolak terlibat dalam segala bentuk kecurangan finansial adalah benteng terkuat melawan azab kubur. Seorang hamba yang meninggal dalam keadaan jujur dalam pekerjaannya, meskipun hartanya tidak sebanyak rekannya yang korup, akan mendapatkan ketenangan di alam barzakh. Kuburnya akan dilapangkan, diterangi, dan ia akan disambut dengan keharuman dan kedamaian, menunggu hari kebangkitan dengan hati yang lapang.
Pada akhirnya, jabatan bankir, seberapa pun tinggi dan menggiurkan, akan hilang nilainya ketika liang lahat menutup. Yang tersisa hanyalah amal jariyah dan keikhlasan dalam menjalankan tugas sesuai tuntunan agama. Refleksi mendalam mengenai azab kubur adalah panggilan untuk segera memperbaiki diri sebelum terlambat.