Dalam setiap hubungan pernikahan, komunikasi adalah fondasi utama yang menjaga keharmonisan. Namun, seringkali terjadi gesekan yang berujung pada fenomena yang disebut 'silent treatment' atau mendiamkan pasangan. Meskipun dalam konteks tertentu, jeda atau menenangkan diri sesaat mungkin diperlukan, ketika mendiamkan suami menjadi sebuah pola perilaku yang berlarut-larut oleh seorang istri, hal ini dapat membawa konsekuensi serius, tidak hanya bagi keutuhan rumah tangga tetapi juga dampaknya yang dikaitkan dengan konsekuensi spiritual atau 'azab'.
Dalam banyak pandangan, khususnya yang berlandaskan nilai-nilai agama dan psikologis, diam yang disengaja dalam rumah tangga seringkali lebih menyakitkan daripada pertengkaran verbal. Ketika istri memilih untuk mengunci diri dalam kebisuan, hal ini dapat merusak koneksi emosional yang telah dibangun. Suami merasa ditolak, tidak dihargai, dan yang terburuk, merasa tidak memiliki tempat untuk memperbaiki kesalahan atau mendiskusikan masalah.
Secara psikologis, 'silent treatment' adalah bentuk agresi pasif. Ini adalah cara mengontrol dinamika hubungan tanpa harus mengeluarkan suara. Pelaku berharap pasangannya akan menyerah pada tekanan emosional yang ditimbulkan oleh keheningan tersebut. Namun, dampak jangka panjangnya adalah terciptanya jarak, kecemasan, dan penurunan harga diri pada pihak yang didiamkan.
Banyak ajaran menekankan pentingnya menjaga lisan dan menjaga hubungan baik dengan sesama, terutama dengan pasangan hidup. Kehidupan rumah tangga adalah ladang pahala, dan menciptakan suasana permusuhan melalui kebisuan yang disengaja dianggap sebagai tindakan yang tidak diridhai.
Dalam konteks spiritual, fokus utama adalah pada niat. Jika mendiamkan suami dilakukan sebagai bentuk hukuman permanen atau untuk menyembunyikan ketidakpuasan yang seharusnya diselesaikan dengan dialog, maka hal ini dinilai memberatkan. Diam yang dimaksud di sini bukan jeda untuk introspeksi, melainkan pemutusan komunikasi total yang melanggengkan kebencian atau rasa sakit. Ada keyakinan bahwa segala bentuk penganiayaan non-fisik, termasuk pengabaian emosional dan komunikasi, akan dipertanggungjawabkan.
Ketika ibu rumah tangga mengambil sikap mendiamkan suami, dampaknya tidak berhenti pada pasangan. Anak-anak adalah saksi bisu yang paling rentan. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang tegang, belajar bahwa menyelesaikan masalah adalah dengan menghindar dan membisu. Ini merusak model komunikasi sehat yang seharusnya mereka tiru. Kehangatan keluarga memudar digantikan oleh atmosfer yang kaku dan penuh ketakutan.
Selain itu, seorang istri yang terus menerus menolak berbicara dan berinteraksi dengan suaminya dapat dianggap telah melalaikan hak-hak suami sebagai pemimpin rumah tangga (dalam konteks peran tradisional), yang menuntut adanya musyawarah dan keakraban. Keharmonisan yang runtuh karena kebisuan ini sering dikaitkan dengan berkurangnya keberkahan dalam rumah tangga, baik secara materi maupun spiritual.
Kunci untuk menghindari potensi dampak negatif dari perilaku ini adalah komunikasi yang jujur dan berani. Jika seorang istri merasa sangat terluka hingga ingin membisu, itu adalah sinyal bahwa ada luka besar yang perlu diobati. Namun, membisu bukanlah obat. Obatnya adalah mengungkapkan perasaan dengan cara yang terstruktur dan tidak menyerang pribadi suami.
Sebaliknya, seorang suami juga harus peka. Jika ia mendapati istrinya menarik diri, ia harus proaktif mendekat dengan kelembutan, bukan dengan paksaan atau tuntutan. Mencari mediator, baik tokoh agama atau konselor pernikahan, seringkali menjadi jalan keluar yang lebih bijak daripada membiarkan kesunyian menjadi penguasa rumah tangga. Keharmonisan sejati dibangun di atas kata-kata yang diucapkan dengan niat baik, bukan pada ruang hampa yang ditinggalkan oleh kebisuan yang disengaja.
Ingatlah bahwa hubungan pernikahan adalah kemitraan seumur hidup yang membutuhkan usaha aktif dari kedua belah pihak. Mengabaikan pasangan adalah tindakan yang merusak, yang pada akhirnya dapat berbalik menjadi beban bagi diri sendiri.