Dalam struktur keluarga, peran ayah seringkali dianggap sebagai tiang utama dalam memberikan perlindungan, bimbingan, dan yang paling mendasar, nafkah. Nafkah bukan sekadar materi; ia adalah manifestasi nyata dari kasih sayang dan tanggung jawab. Ketika seorang ayah sengaja mengabaikan kewajiban menafkahi anak-anaknya, konsekuensi yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan di dunia, tetapi juga dipercaya membawa dampak serius di akhirat. Isu mengenai azab ayah yang tidak menafkahi anaknya adalah topik berat yang sering dibahas dalam konteks moral dan spiritualitas.
Kewajiban menafkahi (memberi biaya hidup) adalah amanah suci yang dibebankan kepada kepala keluarga. Dalam banyak ajaran agama dan norma sosial, pengabaian terhadap amanah ini dianggap sebagai dosa besar. Seorang ayah yang mampu secara fisik dan finansial, namun memilih untuk lari dari tanggung jawabnya, menempatkan dirinya dalam posisi yang sangat rentan terhadap konsekuensi ilahi. Anak-anak, terutama yang masih kecil dan belum mampu berusaha sendiri, berada dalam posisi lemah dan sangat bergantung.
Sebelum membahas aspek akhirat, penting untuk memahami penderitaan nyata yang dialami anak-anak. Ketidakhadiran nafkah seringkali berbanding lurus dengan ketidakstabilan emosional dan sosial. Anak-anak mungkin mengalami:
Penderitaan anak-anak ini menjadi saksi bisu atas kelalaian sang ayah. Dalam pandangan moral, setiap tetes air mata dan kesulitan yang mereka hadapi tercatat sebagai beban dosa bagi orang tua yang lalai tersebut.
Banyak literatur keagamaan menekankan betapa seriusnya dosa meninggalkan tanggungan. Dosa ini sering kali dikategorikan sebagai kezaliman tingkat tinggi karena menyangkut hak orang yang tidak mampu membela diri. Seorang ayah mungkin bisa menyembunyikan perbuatannya dari hukum duniawi atau bahkan dari mata manusia, namun ia tidak bisa menyembunyikannya dari pengawasan Ilahi.
Hak anak untuk dinafkahi adalah hak mutlak yang melekat sejak mereka lahir. Mengabaikannya sama saja dengan merampas bagian dari rezeki yang seharusnya mereka terima untuk kelangsungan hidup mereka.
Dikenal istilah bahwa hak anak untuk mendapatkan pemeliharaan akan ditagih di hari perhitungan. Jika harta benda yang dikumpulkan sang ayah didapat dari hasil kerja keras, namun digunakan untuk kepentingan diri sendiri sementara anak-anak menderita, maka harta tersebut justru menjadi penghalang menuju rahmat Tuhan. Azab yang dimaksud bukan selalu berupa hukuman fisik langsung di dunia, melainkan bisa berupa hilangnya keberkahan dalam hidupnya, kesulitan saat menghadapi kematian, atau penagihan hak tersebut di Padang Mahsyar.
Konsep pertanggungjawaban individu sangat ditekankan. Seorang ayah tidak bisa berdalih bahwa ia sudah beribadah dengan baik atau melakukan amal jariyah jika ia masih menelantarkan tanggung jawab utamanya. Hak-hak dasar anak harus dipenuhi terlebih dahulu. Dalam banyak narasi spiritual, hak anak yang teraniaya akan menjadi pihak yang menuntut langsung kepada orang tuanya.
Bahkan ketika sang anak telah dewasa dan mampu mandiri, beban psikologis dan spiritual dari masa penelantaran tetap ada. Bagi sang ayah, penyesalan di masa tua atau saat menjelang ajal seringkali datang, namun penyesalan tersebut mungkin sudah terlambat untuk menghapus catatan dosanya. Mengingat besarnya kedudukan seorang anak dalam pandangan Tuhan, seorang ayah yang menelantarkan nafkah adalah pihak yang paling merugi. Ia mengorbankan ketenangan akhiratnya demi ego atau pilihan hidup yang keliru di dunia. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap orang tua untuk senantiasa introspeksi dan memastikan bahwa amanah pemeliharaan anak telah dipenuhi dengan sebaik-baiknya.