Dalam dunia hukum, bisnis, dan kontrak internasional, penyelesaian sengketa adalah aspek yang tak terhindarkan. Ketika konflik muncul dan jalur negosiasi formal menemui jalan buntu, dua mekanisme utama sering diandalkan: litigasi (persidangan di pengadilan) dan alternatif penyelesaian sengketa (APS). Salah satu pilar utama dalam APS, khususnya arbitrase, adalah sosok arbitrator.
Secara sederhana, seorang arbitrator adalah individu netral yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa (atau ditunjuk oleh institusi arbitrase) untuk mendengarkan argumen, meninjau bukti, dan membuat keputusan final yang mengikat (disebut putusan arbitrase) mengenai perselisihan tersebut. Peran mereka sangat berbeda dengan hakim di pengadilan umum.
Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa di luar sistem pengadilan formal. Keputusan untuk menggunakan arbitrase biasanya didasarkan pada kesepakatan tertulis (klausa arbitrase) yang dimasukkan dalam kontrak sebelum sengketa timbul. Keunggulan utama arbitrase adalah sifatnya yang rahasia, lebih cepat, dan fleksibilitas proseduralnya.
Di sinilah arbitrator memainkan peran krusial. Mereka bertindak sebagai hakim privat yang dipilih berdasarkan keahlian spesifik yang dibutuhkan dalam sengketa tersebut. Misalnya, dalam sengketa konstruksi bernilai tinggi, para pihak cenderung memilih seorang arbitrator yang merupakan insinyur sipil berpengalaman, bukan sekadar ahli hukum umum.
Keunggulan utama arbitrator terletak pada pengetahuannya yang mendalam mengenai subjek sengketa, memungkinkan keputusan yang lebih akurat secara teknis dibandingkan keputusan oleh hakim yang mungkin kurang memiliki spesialisasi tersebut.
Seorang arbitrator harus memenuhi standar etika dan profesionalisme yang sangat tinggi. Kualifikasi inti yang mutlak diperlukan adalah netralitas dan imparsialitas. Mereka harus bebas dari bias apa pun terhadap salah satu pihak yang bersengketa. Jika terbukti ada konflik kepentingan, putusan yang mereka keluarkan dapat dibatalkan.
Persyaratan formalnya bervariasi tergantung yurisdiksi dan aturan institusi arbitrase (seperti BANI di Indonesia atau ICC Internasional). Namun, kualifikasi umum meliputi:
Peran arbitrator dimulai setelah mereka secara resmi menerima penunjukan. Prosesnya umumnya melibatkan beberapa tahapan:
Keputusan yang dihasilkan, yaitu putusan arbitrase, umumnya final dan mengikat. Ini berarti pihak yang kalah tidak memiliki hak untuk mengajukan banding (review substantif) ke pengadilan biasa, meskipun terdapat mekanisme terbatas untuk pembatalan putusan jika terjadi pelanggaran prosedur serius atau ketidakadilan prosedural yang fundamental.
Dalam praktik, penyelesaian sengketa dapat dipimpin oleh seorang arbitrator tunggal atau sebuah majelis yang terdiri dari tiga (atau kadang ganjil lainnya) arbitrator.
Jika dipilih majelis, biasanya masing-masing pihak menunjuk satu arbitrator, dan kedua arbitrator tersebut kemudian bersama-sama menunjuk arbitrator ketiga yang bertindak sebagai Ketua Majelis. Ketua ini sering kali memegang peran paling dominan dalam memimpin jalannya persidangan dan merumuskan kesimpulan akhir. Kehadiran majelis sering dipilih untuk kasus-kasus yang sangat besar atau sangat kompleks, di mana keragaman keahlian dianggap penting untuk mencapai keputusan yang seimbang.
Kesimpulannya, arbitrator adalah penengah ahli yang memegang kekuasaan besar untuk menyelesaikan konflik bisnis tanpa campur tangan birokrasi pengadilan. Kepercayaan publik terhadap sistem arbitrase sangat bergantung pada integritas, keahlian, dan profesionalisme individu yang menyandang gelar arbitrator.