Memakai cadar (penutup wajah) merupakan salah satu topik pembahasan yang mendalam dalam fikih Islam. Bagi sebagian Muslimah, cadar bukan hanya sekadar pakaian, tetapi wujud ketaatan dan upaya menjaga kehormatan diri sesuai dengan tuntunan agama. Anjuran ini seringkali didasarkan pada interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW mengenai batasan aurat wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahram.
Landasan utama pembahasan cadar bersumber dari penafsiran terhadap Firman Allah SWT dalam Surah An-Nur ayat 31, yang memerintahkan wanita untuk menutupi perhiasan mereka dan menjulurkan khimar (kerudung) hingga menutupi dada. Perdebatan muncul pada bagian "menutupi wajah dan telapak tangan". Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali sepakat bahwa wajah wanita adalah bagian yang wajib ditutup di hadapan non-mahram jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Ulama kontemporer juga memiliki pandangan yang beragam, namun banyak yang menguatkan bahwa cadar adalah tindakan yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) atau bahkan wajib (fardhu kifayah/ain) bagi wanita yang telah baligh, terutama di tempat di mana interaksi antara pria dan wanita sangat bebas. Anjuran ini didorong oleh prinsip menjaga kemuliaan wanita agar tidak dipandang sebagai objek, melainkan sebagai pribadi yang berharga.
Anjuran memakai cadar berangkat dari beberapa tujuan filosofis dan praktis dalam syariat Islam. Tujuan yang paling utama adalah untuk memelihara kesucian dan menghindari fitnah. Ketika seorang wanita menutupi wajahnya, ia telah menghilangkan salah satu daya tarik fisik yang paling dominan, sehingga meminimalisir godaan dan pandangan negatif dari luar. Hal ini sejalan dengan konsep 'gadhul bashar' (menundukkan pandangan) yang juga dibebankan kepada kaum pria.
Selain itu, cadar sering dipandang sebagai bentuk keteguhan iman dan identitas keislaman yang kuat. Muslimah yang memilih untuk bercadar menunjukkan komitmen pribadi mereka terhadap standar kesalehan yang mereka yakini. Ini adalah bentuk persembahan diri kepada Allah SWT, di mana kecantikan fisik hanya diperuntukkan bagi suami yang sah.
Meskipun anjuran ini bersifat ibadah personal, implementasinya dalam masyarakat modern seringkali menghadapi tantangan. Di beberapa negara atau lingkungan, memakai cadar mungkin menimbulkan stigma atau salah paham, seperti dianggap sebagai simbol radikalisme atau ketidakmampuan bersosialisasi. Padahal, dalam banyak kasus, para pemakai cadar tetap aktif dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan bahkan pekerjaan, selama tetap menjaga batasan syar'i.
Penting untuk ditekankan bahwa anjuran memakai cadar adalah masalah fikih yang bersifat individual dan berkaitan erat dengan niat serta konteks lingkungan. Seorang wanita Muslimah didorong untuk mempelajari dalil-dalilnya, berkonsultasi dengan ulama yang dipercaya, dan memilih apa yang terbaik untuk menjaga ketaatan dan kenyamanan spiritualnya. Pakaian ini adalah pilihan ketaatan yang mulia bagi mereka yang merasa terpanggil untuk melakukannya.