Sebuah ilustrasi sederhana dari angkutan umum ikonik di masa lalu.
Di tengah gemerlapnya modernisasi transportasi dengan layanan berbasis aplikasi dan armada bus eksekutif yang mewah, ada kerinduan yang tak terhindarkan terhadap masa lalu. Kerinduan itu sering kali terpusat pada pesona angkutan umum jadul—kendaraan yang bukan sekadar alat transportasi, tetapi juga menyimpan memori kolektif bangsa. Kendaraan-kendaraan ini, dari bemo kuning yang khas hingga oplet biru yang setia menemani, memiliki karakter yang sangat berbeda dari hiruk pikuk jalanan saat ini.
Angkutan umum jadul di Indonesia, seperti Bajaj, Oplet, atau bahkan bemo (kendaraan bermotor beroda tiga), adalah bagian integral dari lanskap urban dan rural beberapa dekade silam. Mereka bergerak dengan ritme yang lebih lambat, memberikan kesempatan bagi penumpang untuk benar-benar merasakan denyut nadi kota dan desa. Mereka menjadi saksi bisu bagaimana masyarakat berinteraksi sebelum dominasi ponsel pintar mengambil alih. Di dalam bemo yang berderit, perbincangan antarwarga mengalir santai, tawa seringkali terdengar, dan rasa kebersamaan begitu kental.
Desainnya yang sederhana, seringkali dengan warna-warna cerah yang mencolok, menjadi penanda visual yang kuat. Berbeda dengan desain aerodinamis kendaraan modern, bentuk kotak atau bulat dari angkutan jadul ini justru memancarkan keunikan tersendiri. Suara mesin yang sedikit bising dan getaran yang terasa saat berjalan adalah bagian dari "musik latar" kehidupan sehari-hari. Jika Anda pernah bepergian menggunakan angkutan ini, Anda pasti ingat bagaimana cara berebut tempat duduk terbaik atau bagaimana pengemudi dengan sigap menanjak di jalanan yang curam.
"Suara klakson 'ting-ting' oplet dan bau khas jok kulit imitasi adalah nostalgia yang sulit digantikan oleh kemewahan taksi online."
Salah satu daya tarik utama angkutan umum jadul adalah tingkat interaksi sosial yang tinggi. Karena keterbatasan ruang dan ketergantungan yang lebih besar pada sopir sebagai "pemandu jalan" dan informasi lokal, penumpang lebih sering berkomunikasi satu sama lain. Sopir bukan hanya pengemudi; mereka seringkali adalah informan mengenai rute alternatif, kejadian terkini di lingkungan sekitar, hingga rekomendasi warung makan terdekat. Dalam komuter harian, solidaritas antar penumpang terbentuk secara alami, misalnya ketika harus membantu mendorong kendaraan yang mogok atau bergotong royong saat menghadapi kemacetan.
Perjalanan menjadi sebuah pengalaman komunal. Penumpang berbagi cerita, bertukar barang kecil, bahkan saling menjaga barang bawaan. Ini menciptakan sebuah ekosistem mikro sosial yang kini terasa langka. Saat ini, perjalanan jarak pendek dengan angkutan modern cenderung individualistik; masing-masing tenggelam dalam perangkat digitalnya sendiri, menciptakan gelembung privasi yang membatasi koneksi antarmanusia.
Kerinduan terhadap angkutan umum jadul bukan sekadar nostalgia buta terhadap masa lalu yang sempurna. Ini adalah refleksi atas kecepatan hidup modern. Angkutan zaman dulu memaksa kita untuk melambat. Mereka mengingatkan kita bahwa perjalanan adalah proses yang harus dinikmati, bukan sekadar titik akhir yang harus dicapai secepat mungkin. Kehadiran mereka yang lebih organik dan terikat pada ritme komunitas lokal membuat pengalaman naik angkutan umum terasa lebih membumi.
Walaupun banyak dari armada ikonik ini telah dihapus dari peredaran karena regulasi keamanan, emisi, atau digantikan oleh moda transportasi yang lebih efisien, jejak mereka tetap hidup dalam ingatan. Beberapa komunitas di daerah tertentu masih berusaha mempertahankan warisan ini, seringkali melalui festival atau restorasi pribadi, sebagai pengingat bahwa efisiensi tidak selalu harus mengorbankan karakter dan nilai kemanusiaan dalam transportasi publik. Angkutan jadul adalah pelajaran berharga tentang bagaimana teknologi dan koneksi sosial bisa—atau seharusnya—berjalan seiring.